Masih ingat, ada 2 peran strategisnya HR (atau HC), dari 4 peran penting HR menurut Dave Ulrich? Peran strategis satu, sebagai strategic partner. Satunya lagi sebagai change agent (Ulrich, 1997). Strategic partner adalah peran HR sebagai pendampingnya si decision maker, si pengambil keputusan. Menemani business leader. Memberi solusi, kasih input. Ikut terlibat dalam keputusan strategis organisasi. Change Agent, artinya peran memuluskan perubahan dalam organisasi. Keren kan?
Nah, coba pikirkan, ketika kedua peran itu digabung jadi satu. Bukankah peran itu tak ada bedanya dengan peran seorang Business Consultant?
Saya ingat pengalaman kerja sebagai business consultant di salah satu perusahaan consulting yang masuk daftar “The Big Five” waktu itu. Kerjaan itupun masih sering saya perankan saat ini, saat bersama dengan klien. Apa sih yang dilakukan?
Prosesnya gini. Klien bercerita soal problemnya. Kita menyimak. Bertanya dengan detil, buat dapat pemahamannya yang mendalam. Dari situ, kita membuat memberikan rekomendasi. Ketika klien sepakat, langkah itulah yang dijalankan. Simplenya seperti itu.
Nah, kembali ke HR. Bukanlah peran seperti itu dapat dijalankan oleh unit seperti HR?
Kalau digambarkan situasinya jadi gini. Si Pak Boss atau Bu Boss bercerita kepada kita sebagai orang HR. Kita mendengarkan seksama concernya. Setelah bertanya dan dapat pemahaman, kita pun memberikan berbagai alternatif. Kalau dianggap ok, maka ide kita pun dieksekusi. Bukankah ini, contoh bagaimana HR menjalankan peran sebagai internal consultant.
Saya yakin, banyak sih HR yang telah menjalankan peran seperti ini. Tapi ingat, banyak juga HR yang ‘struggling’. Jangankan mau jadi strategic partner, urusan kerjaan harian aja, masih keteteran.
Baru-baru ini, seorang rekan saya VP HR di sebuah perusahaan plat merah, dengan gundah cerita soal kondisi HRnya. Ketika ada HR Director yang baru masuk, semua peran strategisnya jadi berantakan. Problemnya, HR berganti peran dari ‘strategic partner’ yang bisa kritis terhadap ide-ide direktur, menjadi ‘jongos’nya para direktur. HR jadi admin pelaksana. Kehilangan sisi strategis dan jadi tidak menantang. HR juga jadi teramat sangat membosankan.
Jadi, kalau diperhatikan, ada beberapa sisi yang bisa membuat HR tidak mampu menjalankan peran sebagai internal consultant.
Pertama, seperti kisah di atas, ketika HR tidak jadi partner, tapi menjadi jongos. HR berisi para ‘yes man’ yang hanya mengiyakan. Akhirnya, HR kehilangan kemampuan berpikir kritis dan nggak lagi jadi partner solutif.
Kedua, ketika para bisnis tidak percaya ataupun tidak menjadikan HR sebagai strategic partnernya. Salah siapa? Bisa jadi HRnya yang tidak proaktif. Bisa juga, karna si pengambil keputusan nggak melihat kapasitasnya HR. Akhirnya, HR cuma dipandang sebagai pelaksana urusan personalia.
Ketika, HR terjebak di rutinitas kerjaannya. Boro-boro mau mikirin yang strategis. Urusan rumah tangga organisasi aja, udah menyita waktu. Makanya, ini membuat HR enggan (atau nggak punya waktu lagi) jadi strategis.
Sebenarnya sih, idealnya yang jadi Internal Consultant adalah kolaborasi tim dari berbagai unit internal. Hanya saja, beban operasional dan ketidaknetralan unit lain, kadang bisa jadi kendala. Makanya, kalaupun pilihannya ada satu, HR sebenarnya dapat jalankan fungsi ini dengan baik.
Disatu sisi, HR kenal dengan orang-orang yang ada. Tahu potensi manusianya. Di sisi lain, HR tahu banyak isu lintas unit karna seringkali dapat curhatan dati berbagai unit. Selain, itu HR umumnya dianggap sebagai pihak paling netral, di organisasi. Jadi kalau mau jalankan sesuatu, lebih dianggap tidak punya kepentingan.
Makanya, sebenarnya sayang banget kalau HR tidak bisa menjalankan peran sampai titik strategis ini. Apalagi hanya menjadi ‘babu’nya manajemen aja. Tidak kritis, tukang ‘yes-man’ bahkan jadi tukang stempelnya manajemen. Padahal, HR bisa kasih banyak masukan dan pemikiran. Dan manajemen sebenarnya butuh masukan dan data. Mereka punya ‘blind spot’ yang butuh dikasih tau, juga pertimbangan-pertimbangan non-bisnis yang kadang terlupakan, tapi dampaknya besar.
Contoh ketika Enron kolaps di November 2001, pimpinannya dan CFOnya terlibat. Banyak karyawan yang tahu. HRnya pun tahu. Tapi tidak bisa berkutik. Malahan, yang punya nyali bicara adalah orang Finance, yang mempertanyakan manajemen keuangannya Enron waktu itu. Investigasi lanjutan menunjukkan betapa korupnya Enron dan tinggal tunggu waktu untuk kolaps. Tapi ketika tidak ada yang memberi masukan. Kekacauan dan penyimpangan, terus berlanjut. Hingga akhirnya perusahaan itu jatuh dari yang harga sahamnya 90$ menjadi sekitar 1$. Sayangnya..tidak ada satupun partner yang beritahu. Bahkan Arthur Andersen, yang jadi konsultan eksternal ikut-ikutan ‘menjilat’ manajemen dan akhirnya juga ikut-ikutan hancur saat Enron jatuh? Kenapa tidak ada yang beritahu. Alasannya, karna nggak ada yang jadi ‘partner’, semuanya menjadi ‘yes-man’ manajemen. HRnya pun begitu. Padahal HR Enron ikut merumuskan budaya perusahaan, yamg salah satunya soal integritas. Hadeuh!
Di tengah situasi pandemi ini, menurut saya, semakin dibutuhkan peran HR yang bisa jadi internal consultant ini. Manajemen butuh masukan, pertimbangan, ide dan solusi. Ini situasi kritis. Alangkah baiknya, kalau itu bisa dijalankan oleh internal. Syukur-syukur dengan bantuan eksternal, jika ada budgetnya. Tapi, kalaupun ada bantuan eksternal, yang internal nggak boleh lepas tangan. Bisa-bisa, salah diagnosa!
Trus, bagaimana HR menjalankan peran ini.
Satu, dimulai dari mindsetnya. Kadang, saya masih menemukan HR yang minder. Dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka masih pikir mereka kontribusinya nggak segede marketing atau finance atau maufacturing misalnya. Jadinya, mereka memposisikan ‘di bawah’ bukan ‘setara’. Ini mindset yang pertama mesti dibongkar.
Kedua, mulailah mahiri metodologinya Business Consultant dalam proses consulting. Apa saja?
Dimulai dengan (1) memahami persoalan dan isu yang muncul; (2) cari dan gali informasi dan data internal yang ada; (3) belajar dan cari informasi luar, soal bagaimana menyikapi isu tersebut, lakukan riset; (4) bikin rekomendasi tindakan dan konsekuensinya; (5) pilih tindakan dan langkah detilnya; (6) eksekusi tindakan tersebut dengan melibatkan berbagai pihak; (7) monitor pelaksanaannya; (8) evaluasi lalu buat penyesuaian.
Sebenarnya, proses ini dengan mudahnya bisa dijalankan oleh HR sendiri, dengan bantuan timnya. Atau, jika timnya tidak cukup, HR bisa jadi inisiator. Pencetus ide. HR bisa libatin fungsi lainnya, atas restu manajemen.
Sungguh, betapa saya ingin mengatakan bagaimana HR bisa ‘banget’ jalankan peran yang amat strategis, khususnya di tengah masa pandemi ini. Selain membuat HR lebih dipandang, juga membuat pekerjaan HR menjadi lebih menantang. Dengan gitu, urusan HR bukan lagi cuma manusia, tapi manusia terkait dengan bisnis. Dan yang kedua inilah, membuat kerjaan HR menjadi makin FUN dan EXCITING!
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin
Writer, Inspirator, Speaker, Enteprenuer
Kandidat Doktor Psikologi Organisasi & Kepemimpinan Tuoro University Worldwide (TUW)
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |