Pembaca. Menempati posisi tinggi dalam sebuah organisasi tidak menjamin orang itu mampu membawa oraganisasi pada kemajuan. Paul Wieand, sosok yang saya singgung dalam tulisan saya edisi lalu layak dijadikan pelajaran. Wieand dicopot dari posisi CEO dari beberapa bank yang dipimpinnya karena tidak ber-EQ tinggi. Ia tidak mempunyai kemampuan berelasi yang baik dengan orang-orang di sekitarnya.
Nah, bagaimana seorang eksekutif bisa punya EQ tinggi? Prinsipnya sederhana. EQ memunyai dua landasan, yakni komunikasi intrapersonal dan interpersonal. Komunikasi intrapersonal menyangkut kemampuan orang untuk merefleksikan diri, mawas diri, dan mampu belajar dari pengalaman.
Banyak orang yang terkenal dengan kecerdasan otaknya, tetapi mempunyai pribadi yang rapuh. Mereka mudah stres dan gampang kehilangan arah. Di zaman yang menyuguhkan budaya serba instan, serba dangkal, dan serba permukaan ini, tak jarang orang jadi mudah kehilangan kemampuan refleksinya. Termasuk pula, kemampuan untuk memaknai segala pengalaman dan perjumpaan yang ada, dan kemampuan untuk belajar dari masa lalu. Banyak orang mengalami depresi akut ketika menghadapi pengalaman yang tidak diharapkan, seperti kebangkrutan atau kegagalan. Hidup tiba-tiba menjadi gelap tanpa pengharapan. Banyak yang berakhir tragis.
Mari kita belajar dari Donald Trump. Sebagai seorang kampiun dalam dunia bisnis, Donald Trump tidak lepas dari pengalaman gagal. Ia pernah bangkrut dan dililit hutang sebesar US$ 2 miliar di tahun 1990-an. Waktu itu, Trump sudah menjadi selebritis dalam panggung bisnis dunia. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya efek psikologis dari kebangkrutan itu. Tapi, lulusan Universitas Pennsylvania ini tetap tegar dan mencari terobosan lain untuk menyelamatkan bisnisnya. Ia mengoptimalkan kemampuan refleksinya. Ia duduk tenang dan mencoba mawas diri. Ia tidak mau hanyut dalam nestapa dan pergunjingan orang. Akhirnya, ia menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dari proses panjang kesuksesan. Kesuksesan adalah milik orang yang tidak lelah mencoba dan berusaha. Dengan jiwa besar, raksasa bisnis ini pun bangkit, membangun kembali puing-puing kebangkrutannya. Dan, Trump kini menjadi salah seorang terkaya di dunia. Ia mampu menjejakkan kaki imperium bisnisnya di mana-mana. Itulah Trump.
Pengalaman Trump mengingatkan kita pada pesan guru kebijaksanaan Socrates bahwa hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Trump telah menjalani hidup yang sudah ia refleksikan. Bahkan, dalam bukunya, “How to Get Rich”, Trump berpesan, “Reflect Three Hours A Day (Refleksikan dirimu tiga jam sehari)”. Sementara itu, kita menyaksikan betapa jamaknya akibat ketidakmampuan dan ketidakmauan orang untuk belajar dari pengalaman. Banyak para pengusaha yang undur diri dari panggung bisnis setelah perusahaannya gulung tikar. Di Jakarta, banjir selalu terjadi dan pemerintah ibukota tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Akibatnya, kegagalan terjadi lagi dan banjir pun berulang. Itulah contoh betapa pentingnya kemampuan intrapersonal.
Selain manajemen diri dalam kemampuan intrapersonal, seorang eksekutif juga perlu mengembangkan kemampuan interpersonal. Kemampuan ini lebih mengarah bagaimana orang mampu mengelola relasi dengan orang lain, bekerjasama dalam tim, mengembangkan individu lain, dan membuat individu itu berharga.
Mari kita lihat sepotong kisah hidup Steven Paul Jobs, salah satu pendiri dan CEO dari perusahaan raksasa komputer Apple pada tahun 1976. Dengan model kepemimpinan patnership, Jobs mampu membawa Apple pada berbagai keunggulan. Apple melakukan berbagai ekspansi bisnis dan menjadi kampiun di bidang komputer. Namun, kecerdasan otak tidaklah mencukupi untuk mengembangkan karir. Jobs, dengan berat hati, akhirnya dipecat dari Apple. Ia dinilai tidak memunyai kemampuan interpersonal yang baik. Banyak karyawannnya mengeluh pada temperamen Jobs yang galak dan tidak bisa bekerjasama. Bisa dibayangkan bagaimana seorang pendiri perusahaan ditendang keluar perusahaannya itu.
Fenomena Jobs menjadi tanda peringatan bagi kita, khususnya para eksekutif, untuk memperhatikan apa yang dinamakan komunikasi interpersonal. Kita memang diciptakan bukan sebagai mahkluk sendirian. Penyair zaman Renaisans John Donne (1572-1631) dalam Meditation XVII menegaskan “no man is an island”. Bagi Donne, tidak ada manusia yang hakikatnya adalah sebuah pulau terpencil. Setiap pulau adalah bagian dari benua yang terhubung dengan banyak pulau yang lain. Nah, demikian juga dalam perusahaan. Kita tidak bisa bekerja sendirian. Kita membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Pada titik inilah, kemampuan berkomunikasi interpersonal mendapatkan tempatnya.
Kemampuan interpersonal mempunyai komponen seperti empati dan tanggung jawab sosial. Berbeda dengan Jobs, Gordon Bethune menjadikan empati sebagai bagian dari kemampuan interpersonal sebagai sarana mengembangkan perusahaan. Selama sepuluh tahun, sebelum Gordon Bethune bergabung, Continental Airlines telah dua kali
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |