Happy May Day! Hari buruh internasional yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Dan meskipun namanya “May Day” dan udah mirip teriakan “mayday”, terikan minta pertolongan, itu nggak ada kaitannya dengan Hari Buruh. (Meskipun di setiap tanggal 1 Mei, memang buruh harus berteriak sih supaya nasibnya diperhatikan). Istilah May Day, tampaknya lebih terkait karna secara sejarah, jatuhnya di bulan Mei. Tepatnya di tanggal 1 Mei 1886, untuk pertama kalinya muncul konvensi Chicago (1884) yang meresmikan jam kerja buruh adalah 8 jam.
api, ada beberapa yang tampaknya perlu dibereskan. Banyak yang protes, ketika istilah buruh yang dipakai. Banyak yang mengusulkan istilah ‘pekerja’. Sebenarnya ide yang baik sih. Hanya saja, sampai sekarang pun, istilah internasionalnya adalah “The Labor’s Day” (hari buruh internasional). Meskipun, belakangan ada beberapa website dan lembaga yang mulai memperkenalkan istilah, “Internasional Worker’s Day”. Kedengarannya lebih afdol sih. Lagipula, kalau buruh, kesannya hanya yang bekerja di pabrik, padahal cakupannya adalah semua karyawan yang bekerja, termasuk semua profesional yang berkarya. Akankah ini akan diubah? Entahlah. Ini adalah kesepakatan masyarakat, sebenarnya. Untuk sementara, kita masih akan tetap mempergunakan istilah ‘buruh’ di tulisan ini, meskipun cakupannya lebih luas.
Pertama-tama, hari Buruh itu masih identik dengan demo dan kekerasan. Betapa sering kalau pas hari buruh, omongan yang muncul adalah, “Hati-hati besok hari buruh, mendingan nggak usah keluar deh”. Jadi, hari buruh masih identik dengan buruh yang akan melakukan orasi dan kekerasan. Buruh sering dikaitkan dengan pekerja kasar yang sering pakai “otot” bukan “otak”.
Kedua, hubungan majikan (atasan) dan buruh yang masih seperti kucing dan anjing (padahal ada beberapa foto dan video dimana anjing dan kucing pun bisa akrab). Jadi, banyak yang kerjanya beranteman. Majikan menuduh pekerjanya. Pekerjanya curiga dengan atasannya. Padahal, mereka sebenarnya berasa di kapal yang sama. Jadi, kalau kapal itu ambruk dan tenggelam, semua akan kena dampaknya.
Ketiga, ketika komunikasinya macet, timbullah demo di jalan. Jadi, demo buruh dan berbagai aksi jalanan, adalah petanda dari buruknya komunikasi atasan dengan bawahan. Soalnya, ada kok yang berkomentar begini, “Di tempat kami, komunikasinya lancar. Karyawan bisa diskusi dan ngoming, bahkan bisa isengin atasan dan no hurt feeling. Dan semuanya bisa dibicarain. Jadi, rasanya nggak perlu teriak-teriak di jalan buat kami”. So artinya buruh yang teriak di jalan sebenarnya mengindikasikan PR buat para pimpinan, agar bangun komunikasi lebih baik. Formal ataupun informal. Bukan cuma butuh, baru bicara.
So, kenapa kayak kucing dan anjing? Menurut saya, ini mulai dipicu dari mispersepsi yang terjadi. Artinya, baik bagi para buruh, maupun buat para atasan. Masing-masing hidup dengan persepsi mereka yang berbeda. Sayangnya persepsi ini kadang dihidupi, tanpa verifikasi, tanpa diuji. Akhirnya, persepsi ini malah jadi kayak mitos. Sesuatu yang sebenarnya nggak terlalu benar, tapi tetap saja diyakini.
Misalkan saja, banyak mitos tentang buruh yang isinya seperti ini. Buruh itu banyak nggak pake otak kerjanya tapi pake otot. Lalu banyak ada juga pimpinan yang selalu bilang, “Buruh itu stoknya banyak. Kalau nggak bisa diurus, diganti aja. Banyak yang mau kok”.
Dan banyak juga yang masih berpikir, buruh itu nilai tambahnya sedikit, yang penting dan kontribusi banyak itu yang posisinya di tengah dan atas (padahal yang memberi kita servis dan layanan setiap hari ya buruhnya). Lalu ada juga yang yakin bahwa buruh itu nggak pernah peduli organisasi, yang ada tahunya cuma menuntut dan mengeruk. Bahkan ada yang sampai komentar begini, “Kalau bisa, buruh mah akan menuntut gimana caranya dikasih gaji selevel direktur dan nggak perlu kerja”. Sebuah komentar yang pastinya bikin buruh meradang!
Di sisi lain, buruhpun punya mitos dan keyakinan tersendiri soal atasannya. Para buruh merasa bahwa atasannya kaya raya, tapi buruhnya tak pernah diperhatikan. Mereka merasa nyaris semua atasan kurang apresiatif, dan maunya cuma ingin menang sendiri dan susah diajak ngomong. Para buruh itu pun yakin, atasan itu pelit. Mereka banyak keuntungannya, tapi yang dibagikan ke karyawan, hanya sedikit. “Majikan sih cuma mikir gimana caranya bayar buruh sekecil-kecilnya, biar dapat untung sebanyak-banyaknya”
Akibatnya, tak heran. Jadinya antara buruh dan majikannya, terus terjadi konflik. Masalahnya, sejak awal mereka udah mulai dari rasa curiga.
Dampak konflik ini selalu win-lose. Ada yang menang, dan ada yang merasa kalah. Kadang majikan menang dengan keinginannya. Kadang sebaliknya, buruh yang berhasil dengan tuntutannya. Tapi ketika buruh menang, atasan pun membalas dengan berbagai cara. Buruhnya dikurangi. Lokasi berpindah. Insentif lain dibatasi. Tapi kalau majikan yang menang. Buruhpun balik membalas. Kerjaan dibuat kuakitas asal-asalan. Majikan dipersulit. Buruh membalas dengan hasil produksi mereka.
Jadilah sebuah siklus masalah yang tak pernah selesai. Akibatnya, setiap hari pertama Mei selalu menjadi momentum untuk meneriakkan kesenjangan ini. Ya, habis kapan lagi waktunya?
Belum lagi ditambah dengan berbagai pihak yang punya kepentingan, kadang urusan antara atasan bawahan, menjadi hal yang “politis” sifatnya. Sayangnya, banyak buruh yang demo pun tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan. Jadinya, buruh lantas menjadi alat politik. Dengan kata lain, persoalan atasan bawahan ini seringkali digantung, tanpa jalan keluar supaya setiap saat, isunya ini bisa dimunculkan kembali buat berbagai kepentingan. Yang kasihan? Buruh yang niatnya baik, yang betul-betul ingin membangun tempat kerja yang lebih baik dan yang cuma sekedar menginginkan ‘situasi kerja yang lebih baik’.
Dan sayangnya juga, politisasi ini juga jadi alaaan bagi pimpinan dan atasan sebenarnya punya masalah dengan sistem dan cara mereka untuk mengatakan, “Tuh kan. Sebenarnya di kita nggak ada masalah. Mereka aja diprovokasi dan dipolitisasi orang lain”.
Buruh, Pakai Otak bukan Otot
Posisi buruh sebagai pekerja, pasti lebih rendah dan lebih kurang kuat. Karena itu, demo jalanan sebenarnya tidak pernah menjadi solusi konstruktif. Yang ada masyarakat yang semakin ill feel dan sebel, setiap hari buruh karena takut fasilitas yang akan dirusak gara-gara demo, dll.
Dan berhubung, tidak semua organisasi dan perusahaan bersikap negatif dan memperlakukan buruh, atau pekerjanya dengan buruk, ada baiknya buruh juga belajar lebih dewasa. Dewasa menyikapi masalah. Apa tipsnya?
1. Beri kontribusi dulu. Buruh mesti ingat, salah satu alasan penting mereka dikaryakan adalah karna ada yang diharapkan dari kontribusi mereka. Karna itu sebelum menuntut, ada baiknya dimulai dari kontribusi dulu. Tidak logis rasanya menuntut tanpa ada kontribusi dan produktivitas.
2. Upayakan untuk melihat secara sistemik. Artinya apa? Belajar untuk melihat dari sisi global dan dampak besarnya. Misalkan, Peter Senge penulis buku The Fifth Discipline mengingatkan, “Solusi kita hari ini bisa jadi masalah di masa depan”. Misalkan tuntutan yang kenaikan gaji, tunjangan, dll yang berlebihan, ujung-ujungnya akan jadi masalah tenaga kerja, kalau tidak disikapi dengan baik. Ketika perusahaan akhirnya tutup, mengganti dengan mesin, relokasi ataupun sistem kontrak. Itulah hasil dari solusi yang dilakukan sebelumnya.
3. Respon dengan ‘otak’ bukan ‘otot’. Biasakanlah untuk membicarakan dan membangun dialog. Desak untuk sistem dimana bisa bicara dan ngomong bukan dengan cara selalu harus dengan kekerasan. Kekerasan akhirnya akan dibalas kekerasan. Ujung-ujungnya semua rugi.
4. Usahakan win-win. Apa artinya buruh atau majikan yang menang, kalau ujung-ujungnya saling membalas? Buruh belajar melihat dari sisi majikan. Tapi, majikan juga tidak boleh egois. Buruh bukan mesin tanpa perasaan. Dan perusahaan bisa jalanpun, roda utamanya adalah para buruh. Jadi, upayakan ‘melihat dari sisi pihak lain’ dalam membuat suatu keputusan atau tindakan.
5. Hati-hati, karena kita berada di kapal yang sama. Kadang perseteruan buruh dan majikan terjadi tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya berada di kapal yang sama. Bisa jadi sebenarnya sama-sama ingin hal yang baik buar organisasi. Hanya saja,mereka tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik. Yang terlihat, malah cakar-mencakar. Yang senang, tentu saja yang bisa terus dapat manfaat dari perseteruan ini. Yang kasihan? Perusahaannya, apalagi kalau sampai mogok dan bangkrut. Semua menderita.
So, kita berharap tiap kali hari Buruh, kita jadi semakin dewasa. Dewasa melihat masalahnya. Serta lebih dewasa menyikapi keinginan kita. Toh, perekonomian tak bisa jalan tanpa buruh. Tapi jika perusahaan tak bisa beroperasi pun, nasib buruh dan perekonomian akan terancam!
Anthony Dio Martin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |