Mari kita mulai dari fakta yang brutal. Menurut majalah Fortune, 9 dari 10 start up akan gagal! Begitu banyaknya peluang kegagalan itu!
Dan namanya juga Start Up. Itu adalah identik bisnis awal. Makanya biasa disebut bisnis rintisan. Dan yang namanya juga baru dirintis, jadi masih di fase coba-coba. Fase testing the water.
Dan kalau ditambahkan, menurut techinasia.com start up bukanlah sembarang jenis bisnis. Biasanya beda dengan bisnis tradisional. Start up biasanya melewati proses perenungan yang mendalam. Dan umumnya, bidangnya start up itu terkait dengan teknologi. Produknya pun sering berupa aplikasi dalam bentuk digital. Dan sudah sangat umum, kalau bisnis ini beroperasi melalui website.
Lantas, apakah yang menyebabkan kegagalannya tinggi?
Selain faktor IQ bisnis yang sangat diperlukan, nyatanya faktor EQ pun sangat dibutuhkan.
Apakah IQ bisnis? IQ bisnis terkait dengan seluk beluk yang menyangkut 3P yakni produk atau jasa yang ditawarkan. Prosesnya penyediaan jasa buat customer. Dan akhirnya, yang tak kalah penting adalah pemasarannya. Dibutuhkan kemampuan intelektual untuk menjalankan hal ini. Namun itu saja tidaklah cukup. Juga butuh EQ atau Kecerdasan Emosional. Mengapa?
1. Kelola Perbedaan
Pertama-tama, perlu kelola perbedaan. Bayangkan betapa banyak konflik yang terjadi di awal start up. Masing-masing pendiri punya ide dan punya prinsip pribadi. Kalau tidak bisa dipertemukan alias didamaikan, apa yang terjadi? Layu sebelum berkembang. Mati,sebelum dijalankan. Itulah banyak nasib start up yang berhenti di tataran ide gara-gara para pendirinya punya ide yang berbeda.
2. Jaga Mood Kerja
Kedua, EQ butuh untuk menjaga mood kerja. Faktanya memulai dan mengelola suatu start up, kadang terjadi “up and down”. Fluktuasi mood. Kadang lagi semangat-semangatnya. Kadang, terjadi frustrasi. Makanya, butuh EQ yang bagus agar tetap terjadi spirit kerja. Melalui self talk yang positif, khususnya ketika semangat dan mood kerja menurun, para start up yang tangguh bisa dengan positif memotivasi diri mereka dan timnya untuk tetap memiliki mood yang baik.
3. Jaga Keseimbangan Kerja dan Hubungan
Ketiga, EQ untuk prioritas antara hubungan dan kerja. Startup bisa menghabiskan banyak waktu. Bahkan waktu untuk relasi maupun keluarga bisa dikorbankan. Belum lagi terkadang, persoalan yang terjadi di tempat kerja kadang terbawa pula dalam ranah pribadi. Makanya,dibutuh cerdas emosi untuk memilih-milah dan menjadi profesional. Artinya, tidak membiarkan tuntutan kerja mengganggu relasi dan kepentingan dirinya.
4. Kelola Stress
Keempat, EQ untuk kelola stress. Pressure atau tekanan kerja yang dialami start up pastilah sangat tinggi. Makanya, sangat diperlukan kemampuan kecerdasan emosional yang tinggi agar beban bisa dikelola. Pelaku start up yang baik paham bahwa stress tidak mungkin dihilangkan. Tapi dikelola. Bahkan, stress yang berdampak buruk (distress) bisa diubah menjadi strese yang baik (eustress). Dengan demikian, tekanan stress yang terjadi justru menjadi pemicu agar mereka bekerja lebih agresif, lebih efisien dan lebih cerdas. Stress yang dikelola dengan baik, justru jadi sumber kreativitas.
5. Kelola Ekspektasi Bisnis
Kelima, EQ untuk kelola ekpektasi yang realitis. Terkadang, yang banyak membuat startup tidak berkembang adalah ekpektasi yang terlalu muluk hingga jadi tidak realitis. Faktanya, para pelaku startup biasanya memulai dengan optimisme yang besar. Hal itu baik. Tapi setelah sekian lama beroperasi, pelaku startup harus mulai realitis. Bahkan, ketika bisnisnya ternyata tak seperti harapannya.Mereka harus bisa menerima,mengakui tapi mau dengan fleksibel belajar dan menyesuaikan. Optimisme dan kekakuan yang berlebihan, terkadang membunuh banyak startup.
6. Kelola Orang Sulit atau Negatif
Keenam, EQ untuk kelola orang-orang sulit dan negatif. Adalah sangat lumrah kalau startup biasanya akan menghadapi orang-orang yang nyirnyir dan negatif. Mereka akan menyindir atau memberikan kata-kata negatif. Orang itu bisa orang luar tim. Tapi terkadang parahnya, orang itu bisa merupakan tim sendiri. Inilah yang merepotkan. Tetapi, pelaku startup yang baik tak membiarkan kalimat-kalimat negatif disekitarnya menghentikan langkahnya. Justru baginya, kalimat negatif dari mereka yang mencela itulah, cambuk bagi mereka. Justru itulah yang menjadi alasan mereka untuk membuktikan bahwa mereka bisa sukses.
7. Kelola Network
Ketujuh. EQ untuk kelola jaringan dan network. Network disini bukan jaringan nirkabel. Tapi justru jaringan pertemanan, hubungan dan relasi. Dalam beberapa kesempatan, banyak startup yang nyaris gagal justru terbantu oleh pelaku bisnis lain yang bisa memberikan saran berguna buat mereka. Begitu pula dalam bisnis kadang banyak terbantu oleh orang-orang yang ditemui melalui jaringan pertemanan. Karena itulah pelaku startup jangan merasa mereka sudah paham dan tak membutuhkan orang lain. Justru startup pada dasarnya adalah suatu bisnis. Dan namanya bisnis, pertemanan dan hubungan adalah kunci. Beberapa startup justru mendapatkan modal tambahan gara-gara rekomendasi pertemanan. Dan untuk membangun networking, pelaku startup perlu mengembangkan EQ relasi mereka.
So, itulah alasan mengapa EQ ternyata aangat diperlukansaat membangubbisnis. Sementara banyak yang berpikir modal usaha, atau ide cemerlang sebagai sumber utama kesuksesan. Nyatanya, EQ pun sangat diperlukan. Faktanya, bisa jadi ada modal dan ide yang bagus, tapi kalau isinya ribut, konflik ego terjadi dan atmosfir kerja menjadi negatif, dipastikan nasib startup seperti ini tak akan berumur panjang.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |