Papua memberikan banyak kenangan menyenangkan. Pertama kali menginjak Papua adalah ketika di tahun 2015 saat mengajar di Freeport. Bersamaan dengan itu, kesempatan pergi ke Papua tersebut, tidak kami sia-siakan. Setelah mengajar di Tembagapura, tim kami pergi ke beberapa wilayah terdekat untuk memberikan seminar dan pelayanan dalam bentuk pendidikan dan pengajaran, serta motivasi, kepada guru, kepada para orang tua. Pengalaman yang menyenangkan. Bertemu, berinteraksi dan sharing dengan berbagai kalangan di Papua. Bahkan beberapa tahun berikutnya pun, kami masih sering mengajar dan melakukan pelayanan sosial di Papua.
Nyaris semua yang pernah pergi dan tinggal di Papua akan mengatakan satu hal: orang-orang yang menyenangkan, too the point dan tidak neko-neko! Bersahabat dengan teman-teman Papua umumnya adalah persahabatan sejati, tidak banyak intrik dan “mudah ditebak isi hatinya”. Polos.
Makanya, ketika belakangan ini kita mendengar kasus soal Papua yang membara dan marah. Kita jadi bertanya-tanya kembali. Mengapa terjadi lagi dan mengapa sekarang?
Teori Sibling Rivalry
Adalah David Levy, seorang psikiater anak yang juga tokoh psikologi perkembangan, di tahun 1937 yang pertama kali menulis dalam artikel risetnya “Studi tentang Sibling Rivalry”. David Levy, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah silbling rivalry ini. Apa sih sibling rivalry? Pada dasarnya sibling rivalry itu bicara soal persaingan antar saudara untuk mendapatkan perhatian. Ketika salah satu anak merasa cemburu, iri karena tidak diperhatikan. Atau kurang diperhatikan, maka sibling rivalry ini bisa terjadi. Dalam psikologi, teori soal sibling rivalry ini sebanarnya juga sempat dikupas oleh psikoanalisa Freud sebagai lanjutan dari bentuk Oedipus Complex karena anak memperebutkan “cinta” orang tuanya. Atau menurut Alfred Adler, persaingan ini terjadi karena keinginan menjadi orang yang signifikan, berharga. Diperhatikan. Dianggap!
Kaitan Persaingan Saudara Dengan Situasi Papua
Dalam perkembangan berikutnya, akibat dari persaingan saudara yang seringkali muncul adalah: KECEWA. Kecewa sendiri adalah kepanjangan dari KEsel (anger), CEmburu (envy) serta perlaWAnan (conflict).
Rasa kesel, biasanya terjadi ketika orang tua memperlakukan anak secara beda. Anak yang merasa dianaktirikan atau diabaikan, merasa dirinya tidak disayang. Maka, kemarahan inipun sering tersimpan. Bertumpuk-tumpuk dan kadang bisa meledak.
Cemburu, karena merasa bahwa “kok sama-sama anak tapi diperlakukan secara berbeda“. Maka satu anak yang merasa kurang diperhatikan, cemburu dengan yang lainnya.
Perlawanan lantas terjadi karena upaya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Celakanya, perlawanan ini bisa terjadi dalam bentuk agresif ataupun permusuhan terhadap saudara yang lain, ataupun terang-terangan kepada orang tuanya.
Kasus Papua Yang Mirip
Kalau diperhatikan, kita tahu Papua adalah saudara kita yang banyak di”anaktiri”kan selama ini. Problemnya terjadi sejak jaman Orde Baru, di era Suharto. Tanah Papua yang kaya dikeruk habis-habisan. Sayangnya, yang menikmati hanya segelintir. Eksploitasi tanah Papua habis-habisan terjadi, sementara kesejahteraan terbatas. Yang kaya hanya segelintir orang kaya di Jakarta dan segelintir pejabat orang-orang Papua yang korup. Rakyat kebanyakan tetap kekurangan. Masalah ini sebenarnya bukan hanya di Papua tapi di tanah manapun di jaman Orde Baru.
Bayangkan, selama masa itulah tanah Papua yang kaya diambil. Orang Papua melihat itu, sementara mereka hanya mendapatkan remah-remah yang sedikit. Bertahun-tahun setelah Orba itu yang berusaha dibangun pemerintah. Tapi, dari sejak jaman Orde Baru hingga sekarang, waktunya tidak gampang untuk seperti sekedar membalikkan telapak tangan “nasib” di bumi Papua.
Papua adalah ibarat anak dalam keluarga yang selama ini dianaktirikan. Yang berpotensi, yang menghasilkan, tapi ia sendiri tidak diperhatikan. Akibatnya, meledaklah rasa KECEWA itu.
Bagaimana Meredakan Rasa KECEWA itu?
Kembali ke teori sibling rivalry, maka ada beberapa hal penting untuk meredakan rasa kecewa itu. Inilah yang rasanya urgent!
Pertama, mengubah persepsi. Bisa saja persepsi bahwa “aku anak tiri” dibangun oleh orang-orang yang punya kepentingan. Namanya juga persepsi. Mudah dibangun. Bisa salah. Tapi sebenarnya, bisa pula diubah. Celakanya, jika persepsi inti tak diubah, maka persepsi ini akan jadi semakin menggelembung. Orang Papua akan semakin yakin bahwa mereka dianaktirikan.
Kedua, memberi bukti. Memang, ketika orang dalam kondisi marah. Mereka akan mencari-cari bukti yang menjadi fakta, bahwa selama ini mereka tak diperhatikan. Makanya, sama seperti anak. Mereka bukan cuma perlu diperhatikan pada saat mereka membutuhkan, tapi ditunjukkan setiap hari. Maka, setelah reda, pembangunan Indonesia Timur pun perlu menjadi prioritas. Jika tidak, maka Papua akan bernasib seperti Timor Leste.
Ketiga, mengenali temperamennya. Dalam psikologi, temperamen artinya soal karakter dan sifat seseorang. Maka, temperamen antara di Sumatera, Jawa dengan Papua berbeda. Kalau sudah demikian, berhati-hatilah dengan kalimat dan statement yang mudah memicu “sumbu panas” temperamen orang-orang tertentu. Seperti misalnya, kejadian Papua yang dipicu oleh kalimat-kalimat tak bertanggung jawab, yang sebenarnya tak mewakili Indonesia sama sekali.
Keempat, rasa sayang dan persahabatan dari saudara yang lain. Sang orang tua bisa saja mengatakan “Aku sayang pada kalian!” tapi kalau saudara-saudara kandungnya, tidak menunjukkan rasa sayang, maka percuma. Ini ibarat saudara kita yang kesel dan jengkel serta perlu dirangkul. Mereka mungkin juga muak dengan pertunjukan konflik serta ketidakadilan dalam komentar soal suku, agama dan ras yang ujung-ujungnya makin meminoritaskan mereka. Bagaimana kita mau menghentikan bara api kejengkelan ini kalau isu-isu semacam ras, agama, golongan, masih jadi makanan sehari-hari di sosial media kita.
Sungguh kita menangis dengan korban-korban yang tidak semestinya terjadi di bumi Papua saat ini.
Papua is our brothers and sisters!
We love you. We care with you!
Please, don’t go!
We support you too!
Mwuahhhhh!!!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |