Di akhir Februari 2019 ini, masyarakat kembali geger dengan kasus pelecehan seksual dalam keluarga di Lampung. Bahkan, berita ramai memuatnya dengan headline sebagai incest sekeluarga. Betapa tidak? Kasus ini melibatkan bapak serta dua anak laki-laki sebagai pelaku. Semntara, korbannya adalah anak perempuan dalam keluarga tersebut.
Memang, kalau dikaitkan dengan istilah incest yang berarti hubungan yang terjadi diantara keluarga atas dasar suka sama suka. Maka, kejadian di Lampung yang terkuat di tanggal 25 Februari 2019 lalu tidaklah tergolong incest. Melainkan lebih tergolong kekerasan seksual dalam keluarga. Namun, apapun namanya, perilaku kekerasan seksual dalam keluarga ini, tetap dinggap sebagai bagian dari incest paksaan yang membuat banyak orang marah. Dalam istilah ilmiahnya, ada menamakan kasus ini sebagai Incestuous Sexual Abuse.
Bicara soal kejadian ini, toh korbannya telah terjadi. Dan yang lebih mengenaskan adalah putri yang menjadi korban dalam keluarga ini ternyata mengalami keterbelakangan mental.
Seperti kita ketahui, kasus kekerasan seksual sebenarnya banyak terjadi di masyarakat kita, khususnya di dalam rumah tangga. Dan celakanya, banyak diantara kasus ini yang tidak pernah terungkap ataupun tidak pernah diceritakan demi menjaga supaya aib keluarga tidak terbuka. Dalam hal ini, tentu saja yang patut dikasihani adalah korbannya.
Karena itulah, dalam salah satu kesempatan wawancara dengan media iNews yang bisa disaksikan disini https://youtu.be/jdY2O81e2QY
saya mengupas beberapa aspek yang perlu diwaspadai yang bisa memicu kekerasan seksual dalam rumah tangga.
Faktor Pertama : Korban
Dalam kasus kekerasan seksual di rumah, seringkali yang jadi pertimbangan pelaku adalah kondisi korbannya. Biasanya, pelaku melakukan terhadap korban yang dianggap tidak berdaya ataupun kecil kemungkinannya akan melapor.
Jika korbannya normal, biasanya korbannya diiiming-imingi dengan sesuatu ataupun diancam sehingga korban tidak berani melapor. Atau, bisa juga korbannya memang mengalami gangguan mental atau dianggap tidak mampu melaporkan. Maka, dengan demikian sang pelaku merasa diri mereka aman untuk melakukannya. Dan dalam beberapa kasus ekstrim, ada beberapa pelaku yang membenarkan tindakannya dengan berpikir, “Kan dia adalah anak saya, maka sah-sah saja kalau saya memintanya untuk melakukan apapun yang saya inginkan”.
Faktor Kedua: Stimulan
Berikutnya, dalam kasus kekerasan seksual, seringkali ada pemicu yang menstimulasi pelaku untuk melakukannya. Hal itu bisa berupa stimulan obat-obatan, ataupun stimulan visual berupa tontonan. Ternyata, dalam kasus ini seperti yang dilaporkan oleh media adalah stimulan berupa tontonan pornografi.
Dari wawancara dan interview akhirnya terkuak bahwa dalam kasus ini, kakak dan adiknya pelaku ternyata sering menonton tayangan pornografi melalu HP mereka. Hal itulah yang ternyata menjadi pemicu kekerasan seksual yang mereka lakukan terhadap saudara perempuan mereka.
Faktor Ketiga: Ekonomi
Meskipun kelihatannya tidak berhubungan, tapi banyak kejadian kekerasan seksual dalam keluarga ternyata dialami oleh keluarga yang ekonominya lemah. Bagaimana penjelasannya?
Faktanya, ketika ekonominya lemah, umumnya pihak pelaku yang kebanyakan laki-laki, tidak mampu menyalurkan kepada wanita lain, yang mungkin membutuhkan biaya. Misalkan dengan mencari istri lagi untuk membangun keluarga yang baru (setelah istri pertama meninggal). Akibatnya, pelampiasan pun dilakukan kepada anaknya sendiri.
Lagipula, karena kondisi ekonomi yang lemah, biasanya pelaku dan korban tinggal di rumah yang sempit. Dan bisa dibayangkan, ketika dalam kondisi rumah yang sempit, pelaku setiap hari melihat tubuh korban yang mungkin menjadi rangsangan baginya. Misalkan saja, ketika mereka tidur di ruangan yang sama, namun tiba-tiba di malam hari, rok korban tersingkap sehingga menjadi rangsangan bagi pelaku yang sebenarnya masih punya hubungan darah.
Faktor Keempat: Relasi
Penelitian telah menunjukkan bahwa semakin dekat dan baik hubungan, semakin kecil kemungkinan untuk incest. Meskipun, data ini tidak selalu benar. Misalkan saja, hasil riset di Amerika menunjukkan, pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah tiri kepada anak tirinya sekitar 17%. Sementara, pemerkosaan oleh ayah kandung adalah sekitar 2%. Mengapa demikian? Para ahli psikologi memberi penjelasan dari sisi hubungan.
Umumnya, ketika seorang ayah menjadi sangat dekat dengan anaknya, maka yang muncul adalah rasa kasihan dan rasa sayang. Dan rasa sayang ini umumnya, diwujudkan dengan melindungan dan menjaga bukannya dengan mencelakakan.
Namun, hal ini berbeda sekali dengan ayah tiri yang notabene sebenarnya adalah orang asing yang masuk ke dalam rumah. Hubungan dengan si anak pun dipertautkan karena ia menikahi sang ibu dari anak tersebut. Maka, relasi emosional mereka pun sebenarnya tidaklah tinggi. Akibatnya, tidak jarang kita mendengar ayah tiri yang memperkosa ataupun melakukan kekerasan seksual pada anaknya.
Dan yang menarik dalam kasus di Lampung ini adalah anak kandungnya sendiri. Mengapa bisa? Ternyata, kalau kita merunut faktanya, si putri ini meskipun adalah anak kandung, ternyata tidak pernah serumah dan bersama ayahnya. Ia tinggal bersama dengan ibunya hingga ibunya meninggal. Lantas, dari rumah Ibunya, ia pun diambil untuk tinggal bersama bapak dan kedua saudara laki-lakinya. Dengan demikian, meskipun putri kandung, tapi dalam relasinya bisa jadi ia seperti “orang asing” bagi mereka.
Faktor Kelima: Pelaku
Ujung-ujungnya kekerasan seksual memang kembali kepada pelaku. Banyak diantara pelaku kekerasan seksual dalam keluarga umumnya adalah yang mengalami kelainan seksual. Entah selama ini tidak mendapatkan kepuasan dari hubungan yang normal dengan pasangannya ataupun kelainan seksual lainnya. Akibatnya, hal ini pun dilampiaskan kepada orang terdekat yakni yang ada di rumah mereka. Bahkan, dalam kasus di Lampung ini, diceritakan bahwa pelaku terkecil yakni saudara laki-laki korban yang berusia 15 tahun, terkadang melampiaskan hasrat seksualnya pada binatang. Ini menunjukkan gejala abnormalitas pada diri pelaku.
Dan jika dikaji lebih jauh, umumnya pelaku kekerasan seksual juga merupakan orang yang memiliki harga diri rendah. Mengapa demikian? Penelitian dengan pelaku kekerasan seksual di rumah, umumnya adalah pribadi yang takut ditolak ataupun memiliki self esteem rendah. Jika mereka melakukannya pada orang di luar rumah, mereka akan ditolak, dikata-katai hingga dilaporkan dengan mudahnya, tetapi mereka berpikir jika dilakukan di rumah maka risikonya akan lebih rendah. Itulah sebabnya, mereka melakukannya kepada anggota keluarga di rumah karena merasa lebih kecil risikonya.
Dengan mencermati kelima factor utama tersebut, sebenarnya pencegahan juga bisa dimulai dari mengantisipasi faktor-faktor tersebut. Dimulai dari korban yang harus berani tegas dan berani melaporkan. Hingga mengantisipasi kemungkinan kondisi dimana korban harus bersama-sama dengan pelaku yang berpotensi untuk terjadinya kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu ada penengah ataupun keluarga terdekat mewaspadai kemungkinan terjadinya kekerasan seksual yang ada kemungkinan bisa saja terjadi. Termasuk tentunya mewaspadai konten-konten porno yang bisa menjadi stimulan terjadinya kekerasan seksual, apalagi bagi mereka yang belum cukup umurnya.
Di sisi lain, kita juga berharap bahwa keluarga besar ataupun masyarakat dan juga pihak sekolah, mewaspadai dan berusaha peka seandainya ada tanda-tanda anggota keluarganya yang mungkin berperilaku tidak biasanya, khususnya yang bisa menjadi korban. Untungnya, kasus di Lampung ini pun akhirnya bisa terungkap berkat tetangga yang mau membantu serta Satgas Perlindungan Anakl yang peduli. Jika tidak, bayangkan apa yang akan terjadi dengan si anak putri tersebut ke depannya?
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |