Pertanyaan yang seringkali ditanyakan dalam pelatihan dan training kami di HR Excellency hrexcellency.com, salah satunya begini: “Pak Anthony Dio Martin, betulkah orang memang membenci perubahan ataupun sesuatu yang baru. Atau, jangan-jangan itu hanyalah perasaan kita saja?”
Nah, untuk membuktikan itulah, pada bulan November 2010 pernah dilakukan penelitian intensif dengan melibatkan para mahasiswa. Mereka diberikan pilihan terhadap mata kuliah yang diberi label “baru” dan “lama”. Padahal, mata kuliah tersebut sebenarnya sama lamanya. Namun, ternyata mereka cenderung lebih suka yang lama. Bahkan ketika dikasih tahu bahwa mata kuliah yang baru itu lebih sedikit tugasnya, mereka masih tetap saja menyukai mata kuliah yang lama. Begitu pula tatkala diberitahukan sebuah lukisan yang dilukis dengan menyebutkan “lukisan ini dilukis tahun 1905” dengan “lukisan ini dibuat tahun 2005”. Ternyata, lukisan sama yang diberikan penjelasan tahun yang berbeda, akan lebih disukai yang usianya lama. Begitupun ketika lagi-lagi dijelaskan soal sejenis coklat yang telah beredar sejak 73 tahun silam dengan coklat yang baru beredar 3 tahun lalu. Ternyata, coklat lama, yang diberi keterangan tahun telah popular sejak lama, akan lebih disukai.
Lantas, para peneliti pun menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan mengapa yang lama yang disukai adalah karena mereka berpikir bahwa yang lama itu identik dengan kualitas. Padahal, berbagai penelitian juga mengungkapkan bahwa sesuatu menjadi sangat lama dan bertahan bisa jadi karena alasan yang negatif pula misalnya: karena kebiasaan sehingga malas diganti, tidak ada yang berani mengganti, monopoli kekuasaan, hukuman dan rasa sakit yang diciptakan bagi yang berani menentang. Jadi, sebenarnya ada banyak alasan negatif mengapa yang sesuatu itu bertahan dan menjadi kekal. Jadi, lama itu pun tidak selalu identik dengan bagus!
Itulah sebabnya dalam salah satu artikel di HR Excellency saya menegaskan, yang harus dilakukan bukanlah perubahan, tapi juga sebuah transisi. Apa sih beda antara perubahan dengan transisi, baca artikel menariknya disini: Klik Disini
Dengan demikian, muncul pertanyaan lain. “Kalau seandainya kita mau membuat perubahan, sementara orang tidak mau berubah. Lantas bagaimanakah kita bisa menyiasatinya?”
Yang menarik, dalam buku “The Way of Peaceful Warrior” karya Dan Millman, ada sebuah ungkapan dari tokoh fiktif bernama Socrates yang ditulis di novelnya. Kalimat itu berbunyi: “Rahasia kesuksesan perubahan bukanlah dengan memfokuskan energi kita melawan yang lama, tetapi lebih baik difokuskan untuk membangun yang baru” Penjelasannya bisa kita dapatkan di link ini: Klik Disini
Maka, dengan bercermin dari penelitian dan berbagai fakta di atas, ada beberapa yang perlu disiasati agar Revolusi Mental yang saat ini didengung-dengungkan bisa berhasil.
1. Perlunya kemasan baru tetapi isi lama.
Jadi, meskipun menggunakan kemasan yang tampaknya baru. Belajarlah dari kasus “Classic Coke”. Banyak simpang isur mengenai kisah tersebut. Nah, inilah kisah asli yang terjadi menurut versi perusahaan Coca Cola: Klik Disini
Jadi, intinya Coca Cola mau mengganti yang baru, tetapi ternyata orang lebih suka yang lama. Lantas dibuatlah iklan baru dengan isi yang lama. Orangpun tetap menyukainya. Moral ceritanya, seharusnya kita tidak pula meninggalkan sejarah. Sejarah menunjukkan bahwa Revolusi Mental yang kita inginkan bukanlah hal yang baru sama sekali. Inilah mental dan jiwa patriotisme yang pernah kita miliki. Jiwa berkorban. Jiwa tidak hitunga-hitungan. Jiwa ketulusan. Jiwa tanpa korupsi, yang pernah dimiliki oleh bangsa kita dimasa dulu. Namun, dengan berjalannya waktu kita telah kehilanagn semangat, spirit serta ethos yang maha penting ini. Kita kita menggalinya kembali dan menyesuaikannya dengan panggilan jaman yang berubah!
Banyak orang berpikir sebaliknya. Rasa sakitnya akan lebih besar kalau kita berubah. Justru, ketika kita mau berubaha sebaliknyalah yang harus diciptakan. Perbesarlah rasa bahagianya kalau kita ingin berubah. Terkadang, data statistik bisa membantu kita. Ketika kita bicara revolusi, kita seringkali tidak tahu berapa besar kerugian yang sedang kita alami karena sistem lama yang terjadi. Begitupun, kita tidak punya gambaran berapa banyak potensi kentungan yang aka kita terima.
Saya teringat dengan kisah Singapura yang menerapkan sanksi yang sangat keras untuk menciptakan disiplin. Itulah tekad Lee Kuan Yew untuk merubah bangsanya pada waktu itu. Semuanya ada hukumannya dan ancamannya, dengan denda-dendanya. Dan semuanya diterapkan dengan konsekuen. Sampai-sampai Singapura sempat dikasih julukan “The Fine Country” (Negeri Penuh Denda ). Tapi ujung-ujungnya, masyarakat Singapura bisa ditertibkan. Dan ada cerita lain lagi. Baru-baru ini, ada seorang rekan saya yang bisa hobi menerobos jalan busway tiba-tiba berhenti melakukannya. Ternyata salah satu penyebabnya adalah berita melalui HP yang diterimanya yang mengatakan, “Akan dipasang kamera pengawas di setiap busway, sehingga para pelanggar akan dipotret plat mobilnya dan akan didenda saat memperpanjang STNK”. Ternyata hal ini mujarab juga mengubah perilakukanya. Boleh jadi, kamera memang perlu dipasang di sekitar busway. Entah itu kamera palsu ataupun kamera asli, yang jelas ini bisa membuat orang jadi takut dan mulai membentuk perilakuknya.
Nyatanya, sekarang ini mulai banyak instansi dan anggota-nya yang takut terkena inspeksi mendadak. Logika ini sebenarnya telah lama digunakan dalam dunia korporasi. Namanya adalah “mystery shopper”. Tugas mystery shopper ini adalah berlagak seperti pembeli umumnya, tetapi dia adalah orang yang diminta untuk menilai dan mengawasi tentang apa yang terjadi. Semuanya direkam dan dicatat dengan baik lantas dilaporkan sehingga manajemen tahu persis mengenai apa perilaku yang terjadi di lapangan. Nah, supaya revolusi mental terjadi mungkin ada bagusnya dilibatkan para wartawan, jurnalis yang menyamar ataupun pihak independen yang senjaga dibayar untuk mencari fakta. Fakta inilah yang kemudian dilaporkan dan diungkapkan. Dengan demikianlah, kita bisa menciptakan adanya revolusi mental.
Jadi, semoga saja kita berharap Revolusi Mental yang kini didengung-dengungkan, tidak jadi “mental” (berbalik arah ataupun mantul kembali) karena orang yang akan melakukannya tidak siap menerima serta resistensi yang bakal terjadi. Revolusi mental, memang ingin cepat tetapi percayalah…dibutuhkan waktu yang tidak cepat agar bisa sungguh terjadi revolusi mental itu..! Tapi itu harus dimulai! Salam antusias!!
Anthony Dio Martin “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta dan host di TV Excellent, kolomnis rubrik Spirit di harian Bisnis Indonesia. Instagram: @anthonydiomartin dan fanpage: facebook.com website: hrexcellency.com
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |