Ketika mendapat kabar meninggalnya beliau di awal Februari 2019 lalu, sungguh aku tertduduk, terdiam dan jadi merenung. Merenung dengan sangat mendalam! Betapa tidak, pikiranku seolah-olah jadi di-rewind ke masa laluku. Mengingat kepingan pengalaman dan kenangan manis, khususnya ketika pertama kali menyandang status sebagai karyawan.
Saya jadi ingat kembali saat pertama kali keluar dari bangku kuliah dan mencicipi, yang namanya bekerja. Sebenarnya sih, ada beberapa perusahaan yang telah saya lamar. Ada beberapa interview, ada beberapa yang menolak. Ada juga yang prosesnya tidak jelas. Tapi, dalam hati kecilku sebenarnya masih ada keinginan agak berlama-lama di kampus. Jadi, ada perasaan ogah-ogahan juga saat melamar pekerjaan.
Namun, kali ini yang memanggil adalah perusahaan besar. Saya telah mengikuti serangkaian tes mereka waktu di Yogya. Kembali ke waktu itu, saya sebenarnya tes karena ikut-ikutan teman yang kepingin kerja. Dan pada saat itu, para rekruiter (sekarang disebut dengan Talent Acquisition) datang langsung ke kampus. Katanya, ini perusahaan yang besar, yang saya belum tahu terlalu tahu banyak. Hanya nama besarnya, yakni Astra. Mereka bikin mobil, bikin sepeda motor. Tapi, saya sama sekali tidak tahu seperti apakah kalau bekerja disana.
Ceritanya, setelah melewati serangkaian tes yang panjang di Yogya, saya pun lulus. Lalu, saya pun dipanggil ke Jakarta untuk tes lanjut. Tes interview.
Saya menuju ke Sunter. Ke tempat yang bernama Astra Management Development Institute (AMDI). Tidak tahu menahu soal lokasi di Jakarta. Akhirnya, dengan naik mikrolet plus dilanjutkan beca, sampailah saya ke tempat itu. Tempatnya agak tua. Belakangan saya baru tahu, tempat itu dulunya disebut AETC (Astra Education and Training Center). Dan pertama kalinya saya bertemu seorang yang karismatik tapi ramah. Namanya RB Iskandar. Dipanggil Pak Is.
Wawancara saya sangat cepat. Nggak seperti sebuah interview kerja. Malahan Pak Is lebih banyak cerita dan berkisah tentang apa itu yang namanya AMDI. Pusat pembelajaran di Astra.
Sebagai mahasiswa yang baru lulus, saya nggak tahu apa-apa soal kerja. So, dengan antusias saya menyimak penjelasannya. Yang menarik, ijazah saya yang ‘lulusan terbaik fakultas psikologi UGM’ nggak disinggung bahkan tak dilihat. Pas Is bilang, “Saya telah bertanya soal karakter dan sepak terjangmu di kampus. Ada beberapa kakak kelasmu disini. Mereka rata-rata mengatakan hal yang sangat positif. Rekomendasi mereka, lebih saya percayai. Karena yang memberi rekomendasi itu kredibel. Nah, itu lebih penting daripada nilai-nilaimu”.
Serius, sampai sekarang saya pikir, “Kalaupun saya bohong tentang nilaiku, Pak Is tidak akan pernah tahu”. Tapi, disitulah saya belajar pentingnya karakter dan network, bukan nilai akademik. Bukan apa yang kamu tahu, tapi siapa yang kamu kenal. Dan jagalah karakter. Inilah pelajaran EQ atau kecerdasan emosionalku yang pertama.
Akhirnya, setelah beberapa prosedur, saya pun masuk kerja. Tempat yang diluar dugaan saya…sungguh sangat menyenangkan!
Terus terang, saya pernah berkata dalam hati, “kalau tahu kerjaan bisa begitu menyenangkan…mestinya dari dulu-dulu aku cepetan lulus dari psikologi”. Tapi eits jangan salah, temen-temen psikologi pun menyenangkan. Itu yang bikin saya betah berlama-lama di Yogya!
Back to Pak Is.
Pak Is adalah salah satu mentorku, atasanku sekaligus seperti figur bapakku. Pak Is bukan tipe yang terlalu banyak bertanya soal pekerjaan. Obrolan soal kerja, lebih banyak saya pelajari dari seniorku yang dibawah Pak Is. Tapi, dari Pak Is dan dari seniorkulah, saya belajar banyak soal profesional dan totalitas. Sesuatu yang membentuk ethos kerjaku hingga sekarang.
Bicara soal totalitas kerja, saya belajar prinsip “jangan pulang, sebelum selesai dikerjakan”. Untungnya saat itu saya belum berkeluarga. Dan, sudah cukup sering saya menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan. Pakaian, sabun dan alat mandi, semuanya ada di kantor. Kantor jadi rumah kedua. Kerja, bukan lagi keharusan, tetapi sesuatu yang sungguh kunikmati. Para leader juga memberikan contoh soal kerja dengan totalitas.
Dengan Pak Is sebenarnya saya lebih banyak belajar tentang kehidupan. Sesekali, kalau sore, saya dipanggil, lalu diajak bicara soal pelayanan, soal kehidupan. Pak Is, tahu soal perjuangan hidupku. Tentang masa-masa susahku. Dan dia peduli, sebagaimana ia katakan padaku suatu sore, “Dengan masa lalumu yang susah, saya peduli untuk membantumu menjadi sukses”. Kupikir Pak Is begitu perhatian padaku. Belakangan, aku tahu kalau aku terlalu GR. Karena, Pak Is membuat semua orang merasa seperti itu.
Pernah satu kali di kelas management trainee (Astra Basic Training Program), ada kesalahan soal penilaian. Peserta yang rata-rata anak muda, melakukan demo untuk mengungkapkan ketidakpuasan mereka. Kelas pun jadi tak terkendali. Class leader-nya bingung. Tapi, ketika diberitahu kepada Pak Is. Pak Is dengan tenangnya masuk, berdiskusi dan masalah pun selesai. Tanpa emosi, tanpa sok ngatur. Tapi, memang Pak Is sosok yang berkarisma. Tahu nggak, saat saya mengatakan betapa salut kepada Pak Is soal bagaiman beliau menyelesaikan masalah. Pak Is mengajarkan sebuah pelajaran penting. “Kalau dengan benda, kamu bisa pakai otakmu tapi dengan manusia, gunakan hatimu!”. Jleb! Pelajaran berharga yang terus kuingat juga sampai sekarang.
Pelajaran lain yang tak pernah kulupa adalah pelajaran soal kirpat (Berpikir Cepat). Mungkin karena latar belakangnya dari militer, membuat Pak Is sangat cepat merespon terhadap masalah, tetapi bukan respon yang reaktif. Cepat tapi mujarab. Saya ingat waktu itu ada masalah dengan program pendidikan UKM (Usaha Kecil & Menengah). Saat itu, untuk pertama kalinya Astra memberi pelatihan untuk UKM karena diminta bantuannya oleh pemerintah. Dan waktu itu ada masalah. Masalah yang menyangkut antara nama besar Astra dan hubungan dengan pemerintah waktu itu. Pak Is mengambil keputusan yang sulit sebagai atasan. Tapi, keputusannya itulah yang selesaikan masalah. Program Pendidikan akhirnya bisa berjalan. Pak Is harus menjadi tamengnya. Sebab waktu itu, tidak ada pihak lain yang mau ambil tanggung jawab. Itulah risiko menjadi leader.
Oya, Pak Is punya pertimbangan yang sangat menarik, sebagai pimpinan dan bapak di kantor. Pernah satu kali beliau menghampiri ruanganku dan bertanya, “Kamu pernah keluar negeri?”. “Belum Pak”. “Saya ingin supaya semua trainer di AMDI punya kesempatan belajar keluar negeri. Biar tambah wawasan, biar belajar! Paling nggak saya ingin kamu ambil program pendek di luar negeri.” Waktu itu, akhirnya saya dijadwalkan untuk mengikuri sebuah program pendek di Singapore. Tapi, terlanjur saya harus ke Kanada karena diterima untuk Pendidikan S2 di Vancouver. Tapi sungguh saya berterima kasih kepada Pak Is. Meskipun tidak terwujud oleh Astra, tetapi niat baik ini sendiri sudah membuat seorang karyawan merasa begitu diperhatikan. Mungkin itulah yang membuat rata-rata tim yang bekerja di bawah Pak Is bekerja dengan sangat lama dan loyal.
Dan sudah biasa Pak Is kadang hadir di hari Sabtu dan Minggu, saat kami bekerja. Oya, bahkan kadang Sabtu dan Minggu pun kami bisa datang ke kantor, karena menikmati pekerjaan yang kami lakukan. Pak Is kadang tiba-tiba muncul dan mengajak kami ngobrol. Sungguh layaknya seorang bapak buat anaknya. Dan makanya, tak heran ketika karyawan dan staffnya punya acara, Pak Is berusaha menghadirkan dirinya. Kehadirannya sendiri, sudah menjadi support yang luar biasa. Saya pun ingat ketika saya menikah agama tanpa resepsi, Pak Is menguatkan saya dengan berkata, “Pernikahan itu sah dan suci kalau sudah diakui Tuhan. Resepsi tidak penting. Pengakuan manusia tidaklah penting”. Ia menguatkanku dan memahami perasaanku. Saat itu, aku merasa sedih karena tidak bisa membuatkan resepsi untuk membahagiakan orang tuaku sebab dana yang sangat terbatas. Resepsi pernikahanku baru dilakukan, beberapa tahun setelah aku selesai Pendidikan S-2.
Secara prinsip, Pak Is seorang pimpinan yang beretika dan bermoral. Dan itu pula yang saya jadikan sebagai panutan. Sekali lagi mungkin karena militer, aturan adalah nomer satu. Jangan dilanggar. Lebih baik jujur dan dihukum, daripada berbohong. Itulah pelajaran lain yang saya pelajari dari beliau sebagai seorang atasan.
Hingga akhirnya ketika saya selesai studi. Saya kembali ke Astra, rupanya Pak Is telah pindah. Dan sejak itulah saya tidak pernah kontak lagi, kecuali di suatu pertemuan resepsi karyawan Astra. Tapi itupun terburu-buru. Hingga akhirnya saya mendengar kabar tentang kepergian beliau. Betapa sedihnya!
Tapi, ada begitu banyak pelajaran dan nasihat kerja yang saya peroleh.
Jelas dong, karna dialah boss pertamaku. Dan yang Namanya pengalaman pertama, selalu berkesan. Dan benar, pengalaman memiliki boss seperti Pak Is sungguh mengesankan. Kelak, saya punya beberapa pimpinan lagi, dan beryukurnya ternyata masih ada yang mirip dengan Pak Is sifatnya. Tapi itu cerita nanti. Namun diantaranya ada juga boss yang sungguh bertolak belakang. Mungkin itulah cara Tuhan mengajar, “the good “ and “the bad”.
So, tulisan ini saya anggap menjadi semacam eulogi saya untuk Pak Is. Selamat jalan Pak Is. Tulisan ini mengalir dengan cepatnya sebagai catatan terima kasihku buatmu. Saya tahu Pak Is tidak butuh pujian dan tidak pernah mengharapkan penghargaan dari kami semua yang pernah menjadi karyawanmu. Tapi justru itulah yang membuat Bapak layak dihargai dan dipuji.
Terima kasih telah menjadi pimpinan, bapak dan BOSS kami yang sesungguhnya. Bukan BOSS yang Bikin Orang Susah Saja. Tapi BOSS yang Bikin Orang Sukses Selalu!
Saya percaya, Tuhan akan menghitung berkat-berkat yang telah bapak taburkan!
Terima kasih Pak Is. Hormat dan doaku yang mendalam buatmu.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |