
Ada satu artikel legendaris yang sempat menggemparkan dunia HR pada Agustus 2005. Ditulis oleh Keith H. Hammonds di Fast Company, judulnya provokatif: “Why We Hate HR” – Mengapa Kita Benci HR!
Serem? Banget.
Tapi pertanyaannya, setelah hampir dua dekade berlalu, apakah HRD sudah lebih baik? Faktanya, HR semakin berkembang: semakin banyak profesional HR yang memiliki sertifikasi, memahami HRM dengan lebih dalam, bahkan datang dari latar belakang non-HR yang memperkaya perspektif.
Namun, ada beberapa keluhan terhadap HRD yang tetap bertahan seperti penyakit kronis. Keluhan ini muncul berkali-kali, dari generasi ke generasi, dan terus menghantui HRD di berbagai perusahaan.
1. Tidak Paham Bisnis
Bayangkan seorang CEO berbicara tentang strategi ekspansi ke pasar baru, perhitungan ROI, atau optimasi supply chain. Saat ia bertanya kepada HRD tentang kesiapan tim, HR malah menjawab dengan teori kompetensi dan pelatihan tanpa menyentuh dampak bisnisnya.
Banyak pemimpin bisnis mengeluhkan bahwa HRD tidak mengerti bagaimana bisnis bekerja. Mereka berharap HR bisa menjadi mitra diskusi, melihat dampak keputusan bisnis dari perspektif manusia, bukan hanya sekadar urusan rekrutmen dan pelatihan.
Solusi: HR harus mulai ‘nyemplung’ ke bisnis. Belajar dasar-dasar keuangan, pemasaran, dan strategi perusahaan. Jalan-jalan ke pabrik, ngobrol dengan tim sales, duduk bareng dengan manajer operasional. HR yang paham bisnis akan dihargai sebagai strategic partner, bukan sekadar pengurus SDM.
2. Hanya Fokus ke Unitnya Sendiri
HRD seringkali terjebak dalam ‘tempurungnya’ sendiri, hanya sibuk dengan urusan rekrutmen, pelatihan, dan regulasi ketenagakerjaan. Mereka lupa bahwa HR adalah tentang membangun organisasi, bukan sekadar mengurus prosedur.
Seorang manajer sales pernah mengeluh, “Saya butuh HR yang bisa bantu saya meningkatkan kompetensi tim sales saya, bukan cuma ngurus absensi dan kontrak kerja.”
Solusi: HR harus turun ke lapangan, memahami tantangan unit bisnis lain, dan aktif menawarkan solusi konkret. Misalnya, alih-alih hanya mengelola training, HR bisa berperan dalam mengidentifikasi kompetensi yang benar-benar dibutuhkan tim sales agar mereka bisa menjual lebih baik.
3. Terlalu Abstrak, Kurang Tindakan
HR sering kali menggunakan bahasa yang terlalu teknis dan abstrak.
Kalimat seperti, “Kita harus menyesuaikan manpower planning agar tidak terjadi over employment dan memastikan the right man on the right place.”
Kedengarannya keren? Ya. Bisa dipahami semua orang? Belum tentu.
Banyak pemimpin bisnis merasa HR terlalu banyak bicara tanpa tindakan nyata alias NANO (No Action, Ngoceh Only). Mereka ingin solusi cepat dan konkret, bukan teori tanpa implementasi.
Solusi: Gunakan bahasa sederhana yang bisa dipahami semua orang. Sampaikan rekomendasi dalam bentuk business case, tunjukkan bagaimana tindakan HR bisa menyelesaikan masalah nyata dengan contoh konkret.
4. Dianggap Hanya Beban Biaya
HRD bukan divisi yang menghasilkan revenue langsung. Berbeda dengan tim sales yang jelas kontribusinya terhadap pendapatan perusahaan, HRD sering dianggap sebagai pemborosan anggaran.
Pernah ada direktur sales yang berkata, “Saya yang capek-capek cari uang, HRD yang menghabiskannya.”
Gawat? Ya. Tapi ini realitas di banyak perusahaan.
Solusi: HR harus bisa menunjukkan return on investment (ROI) dari program-program yang dijalankannya. Jika tidak bisa diukur dalam angka, tunjukkan dampaknya melalui data perbaikan kinerja, peningkatan engagement karyawan, atau pengurangan turnover yang signifikan.
5. Tidak Netral, Cenderung Memihak
HR sering dianggap sebagai orangnya manajemen oleh karyawan. Tapi ironisnya, manajemen pun kadang merasa HR terlalu berpihak kepada karyawan. Akhirnya, HR terjebak di tengah-tengah dan malah kehilangan kredibilitas.
Misalnya, dalam diskusi kenaikan gaji, HR mungkin memahami aspirasi karyawan. Tapi manajemen melihatnya sebagai beban biaya tambahan yang tidak bisa sembarangan disetujui.
Solusi: HR harus menggunakan pendekatan negosiasi dan arbitrasi. Tunjukkan bahwa HR memahami kebutuhan kedua belah pihak dan bisa memberikan solusi yang adil dan rasional untuk kepentingan jangka panjang.
So, kesimpulannya. HRD bukanlah sekadar ‘petugas administrasi karyawan’. Jika ingin dihargai oleh manajemen, HR harus meningkatkan peran strategisnya, memahami bisnis, dan menunjukkan dampak nyata bagi organisasi.
Saatnya mengubah stigma dari “Why We Hate HR” menjadi “Why We Love HR”.
Siap jadi HR yang dicintai manajemen? Yuk! 🚀
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |