
Biadab! Keji!
Entah kalimat apa yang cocok untuk menggambarkan penembakan di New Zealand. Berita penembakan itu, apapun motifnya pantas dikutuk. Bentuk teror semacam ini tidak bisa dibenarkan jika dilakukan terhadap golongan atau siapapun.
Dan belakangan ini, tampaknya bagian dari sisi lain globalisasi adalah keinginan untuk mempertahankan identitas diri. Merasa terancam oleh pihak yang beda. Ditambah, berbagai berita yang memanas-manasi ikut membuat “mindset” salah tentang golongan tertentu makin mengkristal. Ujung-ujungnya kalau pikiran salah adalah emosi juga salah, tindakan salah pun yang akhirnya dipilih.
Sebenarnya itulah urgensi untuk belajar toleransi. Kalau tidak, dengan dunia yang makin global. Perbedaan makin banyak. Dan kalau tidak siap, ujung-ujungnya adalah saling membenci.
Coba pikir. Apa yang membuat seseorang tega melakukan kekejaman pada orang yang berbeda. Entah apapun suku, agama atau golongannya. Inilah ke 5 alasan yang sering jadi pemicu:
1. Tidak punya empati. Saya teringat waktu seorang pembunuh berantai ditangkap di Amerika, ia ditanya detektif. “Bisakah kamu rasakan bagaimana perasaan orang tua dan keluarga dari korban yang kamu bunuh”. Jawab si pembunuh berantai santai aja, “Kalau aku bisa merasakan, aku tidak akan membunuh”. Begitulah seringkali mereka tidak belajar berempati. Tidak mencoba memposisikan dirinya pada diri orang lain.
2. Trauma yang digeneralisasi. Bisa jadi ada trauma lantas digeneralisasi terhadap kelompok orang itu. Misalkan, dulu pernah dikhianati seorang berlatar suku “X”. Lantas, orang itu mengeneralisasi bahwa semua suku X pastilah pengkhianat. Ini jelas-jelas sesat pikir yang berbahaya. Belum lagi kalau itu diajarkan dan ditransferkan idenya kepada orang lain.
3. Hasil indoktrinasi. Bisa jadi ia tinggal bersama orang yang anti suku golongan agama tertentu. Lantas, ia pun diajari dan “dicekokin” ide bahwa golongan, suku atau agama tertentu itu sesat, dll. Padahal, sebenarnya orang itu tidak punya pengalaman demikian. Tapi karna terus menerus dicuci otaknya, lama-lama ia pun turut percaya kalau orang dengan golongan, suku atau agama tertentu, pastilah sesat dan jahat, sehingga layak diperlakukan dengan semena-mena.
4. Tidak pernah berpengalaman hidup secara heterogen. Bisa jadi mereka yang intoleran dan anti golongan tertentu, hidupnya selalu homogen. Hanya dengan kelompok dan orang-orang yang segolongan. Akibatnya, mereka tidak punya ide sama sekali mengenai hal positif pada orang yang berbeda golongannya.
5. Tidak pernah diajari untuk bertoleransi. Boro-boro diajar bertoleransi,bisa jasi orang tua maupun guru mereka juga orang-orang yang intoleran. Akibatnya lahirlah golongan ekstrim yang anti kelompok lain. Ingatlah, Hitler sendiri yang sangat anti-Yahudi dipengaruhi oleh gurunya sewaktu bersekolah.
Dampak Intoleransi Yang Berbahaya!
Sebenarnya, yang mesti mulai kita waspadai adalah dampak lanjutan dari sikap intoleransi serta berbagai kejadian seperti di New Zealand tersebut. Kita sendiri bisa melihatnya dari dua sisi.
Sisi positif sebagai bentuk kewaspadaan bahwa intoleransi makin lama semakin perlu jadi kewaspadaan kita. Dengan demikian,kita berusaha secara positif mencegahnya. Atau, yang kita kuatirnya adalah sisi sebaliknya. Yakni dimana kejadian semacam di New Zealand justru menjadi “amunisi” untuk semakin mendoktrinasi, membenci atau bahkan membalas. Kalau sudah demikian, yang dikatakan Mahatma Gandhi akan jadi kenyatan, “Kalau mata ganti mata dan gigi ganti gigi, maka akhirnya kita akan mendapatkan orang yang buta dan ompong dimanapun”. Kalimat itu mungkin masih terlalu lunak. Karna kalimat itu bisa juga ektrimnya berbunyi, “Kalau nyawa ganti nyawa, ujung-ujungnya semuanya tak bersisa”.
Bahkan beberapa saat setelah penembakan itu, berbagai peringatan dan warning langsung menyebar di internet. Orangpun menjadi takut dan was was. Orang lantas menjadi takut kalau-kalau ada kelompok ataupun golongan yang bisa tersulut untuk aksi balas dendam di berbagai belahan dunia. Atau, setidak-tidaknya kejadian tersebut membuat suasana yang intoleran, ataupun orang yang sudah punya paham intoleran, akan makin tidak toleran.
3 Cara Untuk Stop Intoleransi
Lantas, bagaimanalah kita bisa bersikap dan mulai mewaspadai sikap intoleransi semacam ini.
Pertama-tama adalah pentingnya stop untuk melabel dan mengeneralisasi. Kita yang sadar,paham bahwa ketika teroris menggunakan nama agama untuk membenarkan tindakan mereka. Pada dasarnya mereka hanya mencoba “melegalkan” tindakan mereka. Tidak ada agama manapun yang mengajarkan untuk membunuh. Kebanyakan, mereka akan pribadi-pribadi yang menunggang agama atau keyakinan tertentu. Tapi pada dasarnya, mereka bertindak atas motif pribadi. Jadi, sangatlah salah ketika gara-gara tindakan satu orang lantas kita mengeneralisasi semua golongan dari orang itu pastilah demikian.
Kedua, pentingnya untuk belajar membuka diri dan hidup bersama yang berbeda. Ini terkadang tidak mudah. Tetapi, pembelajarannya bisa sangat mengubah. Masalahnya, mungkin selama ini kebanyak komunitas dan urusan kita adalah dengan golongan yang sama. Tapi faktanya, di era global seperti ini, makin tak terhindari kita berinteraksi dengan yang berbeda. Maka, jika berprinsip hanya mau dengan yang golongan dan latar belakangnya sama, kita akan makin tersiksa. Tapi, semakin kita belajar “Perbedaan adalah saling melengkapi” atau “Perbedaan adalah kekuatan” maka kita tak merasa terancam bahkan menghargai ketika orang mempraktekkan yang berbeda.
Ketiga, kebencian harus berakhir di kita. The hatred stop here.Jangan diteruskan, jangan dilanjutkan. Bahkan kepada anak dan keluarga kita pun, jangan mengajarkan kebencian ataupun mengindoktrinasikan hal buruk. Mungkin kita berpikir kata-kata tidak ada pengaruhnya. Tetapi, terkadang apa yang kita ucapkan itulah yang akan menjadi benih yang berbahaya. Ingat juga kejadian pengemboman di Boston yang dilakukan oleh Tsarnaev bersaudara juga dipicu karena adiknya diajarkan membenci golongan lain, oleh kakaknya.
Sekali lagi, sekarang ini kita berada di masa darurat intoleransi. Banyak pihak yang bisa menyalahgunakan kondisi untuk memancing sikap-sikap yang salah.Ujung-ujungnya,yang kasihan adalah yang tak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Bayangkan di New Zealand, orang yang tiba-tiba berdoa dengan khusuknya ditembaki. Bayangkan, di tahun 2013 orang-orang tak berdosa yang sedang lari marathon di Boston, dibom. Kita juga masih ingat bom di Bali dua kali terjadi juga saat orang sedang bersantai di bar. Semuanya dilatarbelakangi oleh sikap intoleransi yang ekstrim.
Ayo, stop sikap melabel. Stop S
sikap menghakimi! Stop sikap membenci kelompok lain. Sebaliknya, belajarlah untuk melihat hal-hal positif dari kelompok lain dan justru belajarlah yang bermanfaat dari mereka. Bukannya dengan menghancurkan mereka.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |