Kadang-kadang, pengalaman menulis suatu buku bisa mengubah hidup kita. Nah, salah satunya adalah setelah saya menulis buku “Toxic Employee”. Suatu ketika, saya akan memulai suatu seminar di sebuah perusahaan. Saat itu, saya masih duduk di belakang untuk mencoba ikut merasakan suasana seminarnya, sebelum acaranya betul-betul dimulai. Saat melihat saya, beberapa peserta kasak-kusuk di belakang dan bicara dengan nada berbisik. Tapi, meskipun berbisik, ternyata masih bisa terdengar percakapan mereka, “Sttt… itu kan pembicaranya. Siapa ya namanya, saya lupa. Pokoknya itu deh… dia kan itu, si ‘Bapak Toxic’ itu!” Dalam hati, saya pikir, wah… gara-gara saya menulis buku Toxic, saya lebih dikenal dengan istilah Bapak Toxic sekarang. Ya, moga-moga aja bukan karena diri saya yang Toxic, tapi betul-betul karena buku saya.
Memang, sudah setahun lewat, saya memperkenalkan buku Toxic Employee yang menjadi salah satu trademark kami. Setahun itu pula, saya banyak memberikan seminar mengenai Toxic Employee, juga mengenai Toxic Leader. Tapi jangan salah, khusus kali ini, ada istilah lain pula yang saya ingin perkenalkan dari pengalaman saya mengajar yakni, Toxic Learner.
Ingatlah yang disebut dengan Toxic Learner ini, bukanlah orang yang bodoh, yang sulit menerima suatu pelajaran. Bahkan, sebaliknya yang disebut dengan Toxic Learner ini IQ-nya bisa mencapai 140. Tetapi ya itu, persoalannya bukan apakah dia mampu belajar atau tidak, tetapi lebih pada persoalan ‘mau’-nya.
Dari pengalaman mengajar ratusan kelas training dan seminar, kami cukup kenyang dengan pengalaman mengurusi para Toxic Learner ini. Dan pernah suatu kali, bertahun-tahun yang silam, kami pernah mengajar di suatu perusahaan penerbitan terkemuka. Di situlah kami mendapatkan pengalaman mendapatkan seorang peserta yang sangat sulit untuk dijinakkan. Berulang kali kami mengubah metode dan pendekatan. Awalnya, kami pikir mungkin cara dan proses mengajar kami lah yang salah. Tetapi, sikapnya makin menjadi. Bukan kami saja yang diserang bahkan bagian Training perusahaan, yang selama ini menjadi ‘pengamat’ di belakang, juga ikut-ikutan diserangnya. Pokoknya, hampir semua materi dikritisi dan disikapi secara negatif. Padahal, dia termasuk wartawan yang cukup senior. Usut punya usut, ternyata wartawan senior ini memang punya banyak masalah dengan orang disekitarnya, termasuk organisasi. Akibatnya, meski sudah senior, ia tidak pernah diberikan posisi manajemen, karena sikapnya yang cenderung sinis dan negatif.
Sekarang, mari kita bahas sedikit mengenai 6 ciri Toxic Learner yang saya ingin rangkum dari pengalaman mengajar, yang bisa menjadi bahan introspeksi buat kita pula.
Pertama, dimulai dari sikapnya yang ASS, atau Apatis-Sinis-Skeptis. Apatis, artinya dia nggak peduli dengan proses pembelajaran atau kalimatnya adalah, “Masa bodo dengan apa yang mau diajarin”. Sinis berarti, dirinya juga cenderung negatif, “Nggak mungkin bisa berubah. Nggak ada gunanya!”. Sementara skeptis berarti dia-nya sangsi dan ragu-ragu, “Emangnya kalau kita berubah, manajemen juga akan berubah?”
Ciri kedua adalah belajar untuk me-‘label’ orang lain (learning to judge others). Jadi, boleh dikatakan dia belajar tetapi proses belajarnya ini lebih diarahkan untuk menilai dan menghakimi orang lain. Jadi, ketika ia mendapatkan suatu materi ataupun pembelajaran, pikirannya penuh kalimat-kalimat, “Saya tahu, siapa yang dimaksudkan disini! Wah, pelajaran ini cocok untuk rekan saya itu tuh!”.
Ciri ketiga adalah ‘full glass person’. Jadi, ketika dia datang sebagai peserta dan belajar, ia merasa dirinya sudah ‘penuh’, sudah tahu semuanya. Dari gayanya, kita melihat bahwa dia mengkomunikasikan bahwa ia merasa sudah tahu ataupun sudah paham dengan apa yang dikatakan. Karena itu, tak jarang, manusia ‘full glass person’ itu banyak bertanya dengan pertanyaan yang sifatnya menguji dan juga cenderung meremehkan.
Ciri keempat adalah ‘parable of boiled frog’. Eksperimen ini diceritakan oleh Peter Senge, salah satu pengajar terkemuka dari MIT yang memperkenalkan Learning Organization. Menurutnya, salah satu cacat belajar yang menimpa banyak orang adalah karena terjebak dalam satu proses yang disebutnya sebagai ‘perumpamaan katak rebus’ (parable of boiled frog). Menurut eksperimen ini, jika katak dimasukkan ke dalam air panas, maka katak itu akan meloncat keluar. Tetapi, jika katak dimasukkan ke dalam air dingin dan pelan-pelan direbus, akhirnya katak itu akan mati sebagai katak rebus didalamnya. Apa relevansinya dengan pembelajar yang sulit? Ternyata, seorang Toxic Learner seringkali mengungkapkan bahwa dia sudah nyaman di posisi sekarang dan merasa tidak perlu belajar lagi. Bahkan, proses belajar seringkali dianggap hanya membuang-buang waktu. Akibatnya, dia seringkali datang ke kelas dengan perasaan enggan ataupun sama sekali tidak punya niat belajar.
Ciri kelima adalah sikap merasa ‘ah, cuma teori’. Bisa saja, dari dulu orang ini tidak punya minat maupun keinginan belajar karena merasa tidak ada gunanya belajar apapun. Baginya, para pengajar hanya memberikan hal-hal yang teoritis dan tidak membumi. Memang, mungkin saja ada guru yang tidak bisa menjelaskan manfaat belajar tersebut. Tetapi, banyak teori ini yang didasarkan dari pengalaman, sebaliknya pengalaman akan lebih bermakna ketika didukung oleh teori yang jelas. Seringkali saya menemukan peserta yang mengatakan, “Selama ini saya cuma menerapkan. Ternyata disini ada teorinya ya?”
Dan keenam, ciri terakhir adalah under-estimate. Yang dimaksud dengan underestimate disini bisa dua sisi, baik meremehkan si guru yang mengajar atau bisa jadi sebaliknya, merendahkan kemampuan diri untuk belajar. Dua-duanya bisa merusak proses belajar. Bagi Anda yang senang meng-underestimate para guru yang mengajar, ingatlah pepatah, “Ketika Anda tidak bisa menghargai orang lain, ingatlah bahwa Anda masih punya satu ketidakmampuan yakni ketidakmampuan dalam hal menghargai orang”. Justru pengalaman saya menunjukkan bahwa mereka yang sungguh hebat dan genius, punya penghargaan terhadap ide dan presentasi orang lain. Justru yang pengetahuannya setengah-setengah, tanggung dan tidak aman dengan dirinya, yang seringkali perlu menunjukkan kelebihannya dengan merendahkan pengajaran ataupun presentasi orang lain. Jadi, berhati-hatilah!
Jangan Cepat Melabel!
Demikianlah, 6 ciri Toxic Learner. Dan seperti pengalaman saya biasanya, kita cepat menilai dan menjudge orang lain daripada melihatnya dari sisi kita. Pesan terahkir saya sebelum menutup tulisan ini adalah membuat kita introspeksi diri juga, jangan sampai kita cepat sekali mencap adanya jenis Toxic Learner di kelas ataupun presentasi kita. Malah, jangan-jangan kitalah yang menciptakan para Toxic Learner itu. Dengan sikap kita yang arogan, sok tahu, tidak mau mengalah, menyalahkan, membosankan dan tidak menarik, bisa saja kita pun telah menciptakan para Toxic Learner ini. Jadi, sebelum mengacungkan jari kita pada orang lain, lihatlah pada diri kita terlebih dahulu.
(Anthony Dio Martin, Managing Director HR Excellency, Best EQ Trainer Indonesia, Host Program Radio Smart Emotion di SmartFM, ahli Psikologi, penulis buku-buku best seller)
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |