
Kalau kita baca, banyak yang secara inspiratif bicara soal perlunya kita merdeka dalam berpikir dan berpendapat. Tapi, sebenarnya ada satu hal yang justru lebih essential. Yang lebih penting dari pola pikir itu sendiri? Apakah itu? Jawabannya adalah: prasangka!
Prasangka itu adalah bagian dari keyakinan seseorang tentang orang lain atau sekelompok orang. Prasangka ini penting karena inilah yang akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir tentang seseorang ataupun sesuatu. Banyak sikap dan tindakan kita, dilatarbelakangi oleh prasangka ini.
Ada dua ilustrasi menarik soal prasangka ini. Mari kita mulai dengan sebuah cerita.
Suatu ketika di masa lampau, ada seorang bapak tua yang kehilangan sepedanya. Ia menduga tetangganyalah yang mengambil sepedanya. Ia mulai memperhatikan segala gerak-gerik tetangganya itu. Dan apa yang dilihatnya? Ia mengamati ketika tetangganya berjalan, bicara, mengangkat barang, semua perilakunya mirip seorang pencuri. Ia semakin yakin. Bahkan ketika tetangganya diam pun, mirip cara berdiamnya seorang pencuri. Seminggu kemudian, si bapak yang kehilangan sepeda ini dihubungi oleh hansip di kampung bahwa seorang pencuri dari luar, dengan sepedanya telah tertangkap. Orang-orang mengenali sepeda itu adalah milik si bapak tua itu. Betapa girangnya ketika sepadanya ditemukan. Dan sejak itu ketika ia melihat tetangganya lagi, sama sekali tidak tampak bahwa tetanggnya itu adalah pencuri. Perilakunya, tidak lagi mencerminkan seorang pencuri.
Ilustrasi kedua, ini adalah soal sebuah sebuah eksperimen psikologi. Di sebuah Rumah Sakit Jiwa, ada seorang pasien baru dimasukkan disana. Para dokter dan psikiater disana diberitahu bahwa pasien tersebut masuk kesana karena mengalami gangguan mental. Dan pasien ini diminta untuk diobservasi selama seminggu. Dan menariknya, selama observasi seminggu, berbagai laporan tentang perilaku gangguan jiwanya dilakukan. Ketika diam, dia dianggap depresif (alias murung). Namun, ketika ia banyak bicara dia dianggap manic (terlalu tinggi mood-nya). Jadi, apapun yang dilakukan pasien ini dicatat sebagai gejala gangguan jiwa. Dan seminggu kemudian, itulah yang dilaporkan para dokternya. Catatan tentang si pasien ini berisi soal kelainan mental yang dialaminya. Ingin tahu fakta sesungguhnya? Pasien ini sebenarnya adalah manusia normal yang tidak ada masalahnya! Tapi, para dokter dan psikiater sudah terpengaruh oleh keyakinan bahwa pasien ini memang abnormal.
Namanya juga prasangka, biasanya memang lebih banyak imajinasi dan khayalannya. Dan celakanya, banyak dari prasangka itu hanyalah ditularkan oleh orang lain. Tapi, sayangnya tanpa dicek lagi kebenarannya, kita pun mulai menghidupi prasangka buruk itu. Terkadang prasangka itu kita peroleh dari orang tua, teman, lingkungan, guru ataupun pembina rohani yang notabene seharusnya pikirannya “bersih dan suci” dalam menilai orang lain.
Untuk itu, saya mau menceritakan sebuah eksperimen menarik lainnya yang pernh dilakukan oleh seorang ilmuwan dari Oxford University, Miles Hewstone. Tokoh utama dalam eksperimen ini adalah Adam Pearson, seorang aktor, periset yang wajahnya rusak parah dan berbentuk aneh karena kelainan genetika yang dialaminya, penyakit Neurofibromatosis. Gara-gara penyakitnya, daging diwajahnya tumbuh tidak beraturan. Padahal, secara personal, Adam adalah seorang yang periang dan gampang berteman. Tapi rata-rata orang menjauhinya. Bahkan ia dikatakan monster.
Dalam suatu eksperimen yang menarik. Rata-rata orang dewasa, laki-laki dan perempuan diminta untuk mengisi kuesioner di komputer yang menilai tingkat prasangka buruk yang dimiliki mereka, khususnya kepada orang yang cacat dan berpenyakit. Oleh karena riset ini tidak bisa dibohongi. Ada yang nilainya sampai mencapai 100, artinya orangnya penuh dengan prasangka. Lantas, yang menarik dari eksperimen ini adalah tatkala mereka lantas diperkenalkan dengan Adam Pearson yang cacat, berinteraksi bersama selama setengah jam lebih. Termasuk melakukan permainan bersama. Diantara relawan ini bahkan ada yang dengan malu-malu bertanya, “Penyakit wajahmu menular nggak ya?” dan masih ada banyak pertanyaan aneh yang diberikan. Dan setelahnya, semua sukarelawan ini diminta kembali ke ruangan untuk mengisi kuesioner soal prasangka lagi. Menariknya, rata-rata mengalami penurunan signifikan setelah berinteraksi dengan Adam yang cacat.
Seorang diantara relawan itu ada yang dengan malu-malu berkata, “Hmmm…saya dibesarkan dalam lingkungan yang jarang berinteraksi dengan orang cacat dan berpenyakit. Jadi, saya punya banyak kekuatiran tertular, dll”.
Dalam skala besar, prasangka menjadi sumber pemicu konflik antar rasa, suku, agama bahkan juga bangsa. Saya masih teringat ketika pernah menceritakan kisah pengalaman masa kecilku yang pahit dan sulit kepada teman-teman kuliahku waktu kerja kelompok. Saya cerita, saking sulitnya hidup saya sampai harus makan nasi dengan lauk garam. Sejak TK, sudah harus menjajakan krupuk dan es di gang-gang. Tatkala itu, seorang teman kuliahku pada masa itu nyeletuk dan berkata, “Tahu nggak Tin, kan kamu keturunan Chinese dan selama ini saya pikir semua orang Chinese itu pastilah kaya raya”. Dan belakangan dia menambahkan lagi komentar yang membuatku hanya tersenyum kecut, “Juga dikasih tau kalau Chinese taunya cuma dagang, cari untung sama pelit!”
Entah siapa yang mengajarkan berbagai prasangka itu kepadanya. Tapi saya tidak menyalahkannya. Toh akhirnya kami menjadi teman kuliah yang akrab akhirnya.
Tetapi beruntungnya adalah, si teman saya tersebut punya kesempatan berinteraksi dengan saya yang mungkin memberikannya wajah “Chinese berbeda dari yang dipersepsinya” selama ini. Bayangkanlah ada begitu banyak orang diluar sana, yang tidak berkesempatan untuk berinteraksi, berkomunikasi bahkan membangun persahabatan dan pertemanan dengan orang-orang yang telah dipersepsi secara negatif.
Penelitian Adam Pearson di atas menunjukkan bahwa sebenarnya segala prasangka buruk itu bisa dikurangi (kalaupun tidak bisa sepenuhnya dilenyapkan) dengan membangun komunikasi, persahabatan dan interaksi bersama.
Sayangnya, ketika kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi itu tidak dibangun, terjadilah prasangka buruk. Kasus Tolikara, Papua adalah salah satu contoh intoleransi parah yang mungkin muncul dari prasangka yang salah. Begitu juga masih banyak prasangka buruk yang banyak menyebar di era teknologi yang sudah begitu modern ini. Masih banyak prasangka SARA – Suku, Ras, Anatomi (maaf harusnya Antar Golongan, tapi yang saya maksudkan anatomi disini adalah orang dengan kelainan cacat, fisik, penyakit yang lantas dikucilkan).
Kita telah merdeka lama. Tapi percayalah, ada masih begitu banyak prasangka buruk yang berpotensi merusak bangsa ini. Lebih parah tatkala prasangka ini terus-menerus dipelihara dan diwariskan oleh para leader, guru ataupun pembina rohani kita. Ayo, kita sendiri selalu waspada dengan prasangka kita sendiri selama ini!
Anthony Dio Martin. The Best EQ Trainer Indonesia, motivator, trainer dan direktur HR Excellency. Host acara motivasi di jaringan radio nasional dan televisi. Email: info@hrexcellency.com
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |