
Pagi itu, dalam siaran langsung program Smart Emotion, masuklah sebuah pertanyaan yang langsung menyejukkan ruang virtual dengan keheningan. Seorang pendengar, seorang wanita, menyampaikan suara hati yang telah lama ia simpan. Ia tidak bertanya tentang teori emosi atau rumus komunikasi. Ia mengangkat satu topik yang sangat manusiawi: memaafkan.
“Pak, bagaimana caranya sungguh-sungguh memaafkan seseorang?” tanyanya. Suaranya terdengar pelan, nyaris bergetar. Ia pun mulai bercerita.
Dulu, hampir sepuluh tahun yang lalu, ia dan sahabat karibnya membangun sebuah bisnis bersama. Ia menginvestasikan modal, waktu, dan seluruh kepercayaan yang dimilikinya. Bagi wanita ini, sahabatnya bukan sekadar partner kerja, ia adalah saudara jiwa, tempat berbagi ide, tawa, dan impian. Mereka tumbuh bersama, dari nol. Hingga suatu hari, kenyataan pahit menyergapnya.
Tanpa sepengetahuannya, sahabatnya mengambil sebagian besar uang perusahaan, kemudian mendirikan bisnis serupa secara diam-diam. Ia dikhianati. Ditinggalkan dengan sisa hutang, rasa malu, dan luka batin yang tak bertepi.
Perusahaannya bangkrut. Jiwanya ikut runtuh. Dunia yang dibangunnya pelan-pelan runtuh dalam sekejap. Waktu berlalu. Luka mengering di permukaan, tapi membekas dalam diam.
Kini, hampir satu dekade berselang, ia telah membangun kehidupan baru. Ia memiliki bisnis yang lain, lebih stabil dan lebih mandiri. Dalam banyak percakapan, ia mengatakan telah memaafkan. Tapi setiap kali tanpa sengaja bertemu sahabat lamanya itu di berbagai acara, tubuhnya gemetar. Napasnya memburu. Bahkan, dalam satu kesempatan, ia mengaku, dengan penuh rasa bersalah bahwa ia sempat ingin mencakar wajah sahabatnya itu. Bukan karena ia membenci, tetapi karena ia tersiksa oleh perasaan yang tak kunjung selesai.
Pertanyaannya sederhana, namun menggugah: “Kapan saya tahu jika saya sungguh-sungguh sudah memaafkan atau belum?”
Dalam banyak kasus, termasuk yang mungkin pernah Anda alami, memaafkan sering disalahpahami. Banyak orang berpikir bahwa memaafkan artinya melupakan. Bahwa jika Anda masih mengingat rasa sakit itu, berarti Anda belum sungguh-sungguh memaafkan. Padahal, menurut Institute for Forgiveness, memaafkan bukanlah menghapus memori. Luka bisa saja tetap ada. Namun, yang membedakan adalah bagaimana kita memperlakukan luka itu.
Memaafkan bukan berarti menyetujui atau membenarkan tindakan orang yang melukai. Bukan pula berarti mengundang mereka kembali ke dalam hidup. Memaafkan adalah keputusan pribadi untuk tidak lagi membiarkan peristiwa menyakitkan itu mengendalikan hidup, pikiran, dan emosi Anda. Ini adalah tindakan melepas beban agar Anda bisa berjalan lebih ringan.
Institute for Forgiveness menjelaskan bahwa proses memaafkan mencakup kesadaran akan luka, penerimaan bahwa kejadian itu sudah terjadi, dan keberanian untuk tidak menjadikan luka itu pusat dari hidup kita. Dalam proses ini, ada ketenangan yang bertumbuh, meski kenangan mungkin tak pernah benar-benar lenyap.
Banyak orang mengatakan, “Saya sudah memaafkan,” padahal mereka masih menggenggam amarah, masih ingin melihat orang yang menyakiti mereka menderita.
Memaafkan yang sejati ditandai bukan dari ucapan, melainkan dari kondisi batin. Saat Anda bisa mengingatnya tanpa kemarahan. Saat Anda bertemu tanpa perasaan ingin menyakiti. Saat Anda merasa bebas, tanpa berharap mereka meminta maaf atau mengaku bersalah.
Seperti kata Lewis B. Smedes: “To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you.”
Memaafkan memang seperti membebaskan orang lain, tetapi sejatinya, yang paling terbebaskan adalah diri Anda sendiri.
Lantas, bagaimana tanda bahwa Anda benar-benar telah memaafkan?
Tanda-tanda itu bisa dilihat dari perasaan yang lebih damai. Anda tidak lagi menyebut namanya dengan nada getir. Tidak lagi membicarakan peristiwa itu berulang-ulang seolah menyalakan bara api yang sama. Anda tidak lagi berharap ia menderita. Bahkan, mungkin Anda bisa mendoakan hal-hal baik untuknya. Bukan karena ia pantas, tapi karena hati Anda sudah cukup penuh dengan kasih, dan tak ingin lagi menyimpan dendam.
Memaafkan juga bukan berarti Anda harus mengundangnya kembali dalam hidup. Anda berhak menjaga jarak. Anda berhak menetapkan batasan. Tapi Anda juga berhak hidup tanpa dendam, tanpa beban, tanpa bayang-bayang masa lalu yang terus menyandera kebahagiaan Anda hari ini.
Jika ada pelajaran dari kisah pagi itu, maka pelajarannya adalah: memaafkan bukan satu peristiwa. Ia adalah perjalanan. Kadang mundur. Kadang terhenti. Tapi jika dilanjutkan dengan niat yang tulus, ia akan menuntun kita pada sebuah kemerdekaan batin yang sejati.
Akhirnya, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah refleksi penting:
Memaafkan bukan berarti kehilangan kendali, justru itulah tanda Anda telah mengendalikan hidup Anda kembali. Memaafkan bukan kelemahan, melainkan bentuk tertinggi dari keberanian hati.
Dan memaafkan, lebih dari apa pun, adalah bentuk cinta yang Anda berikan pada diri sendiri.
Jika hari ini Anda sedang berada di titik serupa, tertatih karena luka masa lalu yang belum sembuh, ingatlah: Anda berhak bahagia. Dan salah satu cara menuju kebahagiaan itu… adalah dengan memaafkan, bukan untuk mereka, tapi untuk kedamaian jiwa Anda sendiri.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |