
Suatu sore di sebuah acara resmi, jalanan tiba-tiba macet bukan karena banjir atau kecelakaan. Melainkan, rombongan pengawal dengan sirene meraung-raung memberi jalan untuk mobil pejabat. Dari mobil itu turun seorang lelaki dengan wajah khas, angkuh. Ajudan bergegas menunduk. Satu membawa tas, satu menyiapkan kursi, satu lagi memastikan kamera menyorotnya dari sudut terbaik. Begitu duduk, panitia dan hadirin yang sudah dari tadi menunggu, langsung memulai acara. Tampaknya ada kesengajaan datangnya terlambat biar terkesan ditunggu dan dibutuhkan. Lalu nama lengkap dengan gelar panjangnya dibacakan. Si pejabat itupun tersenyum lebar. Ia sungguh menikmati posisi dan pangkatnya.
Ia lalu berpidato dalam bahasa khas pejabat. Banyak slogan dan kalimat yang isinya seperti bahasa spanduk-spanduk yang panjang. Setelah selesai, ia pun dengan bangga mendapatkan penghargaan dari masyarakat yang menunggu. Bukan karena prestasi yang nyata, melainkan karena penghargaan itu memang diciptakan untuk dirinya. Penonton bertepuk tangan, sebagian karena kagum, sebagian karena terpaksa. Namun di pejabat itu? Perasaannya sangat suka dengan seremonial semacam ini. Padahal di hati rakyat yang menyaksikan, banyak yang menggerutu.
Nah, fenomena ini bukan sebuah kisah fiksi. Di republik kita, pejabat dengan sikap seperti ini, makin mudah ditemukan. Inilah yang dalam konteks psikologi sering disebut sindrom megalomania.
Dalam psikologi, megalomania adalah obsesi berlebihan terhadap kebesaran diri, kekuasaan, dan pengakuan. Orang yang mengalaminya merasa dirinya harus selalu dihormati, dipuja, dan dilayani. Ia merasa lebih tinggi daripada orang lain dan butuh sorotan untuk membuktikan keberadaannya.
Dalam dunia politik, megalomania sering muncul dalam bentuk perilaku yang aneh dan berlebihan. Bagi rakyat, sikap itu malah tampak konyol dan menimbulkan tawa. Namun bagi pejabat yang mengalaminya, semua itu dianggap wajar, bahkan dianggap cukup pantas.
Ciri-Ciri Pejabat Megalomania
Ok, mari kita obrolin soal ciri-cirinya. Intinya, ada sejumlah tanda yang bisa dikenali ketika seorang pejabat terjangkit sindrom megalomania ini.
Pertama, ia suka membanggakan kehebatan diri, bahkan dari hal yang sepele. Prestasi kecil dibesar-besarkan, kegagalan diubah jadi cerita sukses. Kesannya jadi agak lebay soal pencapaiannya. Padahal, bisa jadi bukan hasil karyanya. Bisa jadi hasil karya pejabat terdahulu. Tapi ia berani mengklaim suksesnya buat dia.
Kedua, ia senang dikawal dan dilayani. Malah ada semacam protokoler dimana mesti ada rombongan motor polisi, ajudan yang nunduk-nunduk, dan tas yang selalu dibawakan. Ia senang dapat perlakukan khusus semacam ini. Ia merasa punya kuasa.
Ketiga, ia candu penghormatan. Nama dan gelarnya harus disebut lengkap. Panggilan seperti “yang terhormat” dan “yang mulia” mungkin terasa bagai musik indah di telinganya. Maka, orang-orang disekitarnya pun dilatih dengan sebutan dan panggilan hebat, seperti itu.
Keempat, ia lapar penghargaan. Kalau tidak ada yang memberi, ia bisa menciptakan penghargaan untuk dirinya sendiri. Ia bisa bikin berbagai piala, penghargaan biat dirinya. Ia bisa memberi evaluasi dan memgklaim kesuksesannya. Pokoknya, senang kalau dipuja puji.
Kelima, ia haus pengakuan. Bahkan rela membayar lembaga survei atau media agar terlihat hebat di mata publik. Ia bisa membayar buzzer untuk selalu beri komentar dan kalimat apresiasi buat dirinya. Padahal, itu bikinannya sendiri.
Keenam, ia gila sorotan kamera. Setiap acara harus mendokumentasikan dirinya. Tanpa kamera, ia merasa tidak ada artinya. Kemana-mana ia senang diliput. Bahkan, ia akan dwngan senang hati datang ke acara yang memungkinkan dia diliput secara nasional dan jadi bahan berita.
Ketujuh, ia hobi ceremonial. Potong pita, tanam pohon, atau acara tumpengan, model kayak giti paling ia sukai. Ia senang menghadiri acara selebrasi. Bukan karena penting, melainkan karena ia akan jadi sorotan utama.
Kedelapan, kemurahan hatinya penuh pamrih. Ia memberi bantuan agar dipuja, bukan karena peduli. Seringkali ia tampak memberi bantuan sosial, memberikan amplop. Tapi di bungkusan bantuan ada fotonya dan atribut tulisannya supaya yang menerima tahu siapa yang memberikan.
Kesembilan, ia suka memuji dirinya sendiri. Kalau orang lain tidak melakukannya, ia yang akan mengatakan betapa hebat dirinya. Jadi menariknya, seringkali ia yang bekerja, tapi dia pula yang memuji dirinya sendiri. Misalkan ia bikin program di daerahnya, dan lalu beberapa waktu kemudian mengklaim kesuksesan program itu, menurut dia.
Kesepuluh, ia percaya dirinya tiada taranya. Ia merasa pimpinan sebelumnya tidak ada yang sebaik dan sehabat dirinya saat ini. Ia bahkan merasa dirinya telah banyak beejasa. Ia merasa bahwa masyarakatnya bisa seperti sekarang, karna apa yang telah dilakukannya. Ia pun berpikir rakyat mau dia duduk lebih lama di jabatannya. Padahal kenyataannya, rakyat hanya menunggu waktunya dia untuk turun.
Dampaknya bagi Rakyatnya dan Instansinya
Megalomania pada pejabat bukan sekadar masalah pribadi, melainkan masalah publik. Ketika pemimpin lebih sibuk mencari penghormatan daripada bekerja, rakyat yang menanggung akibatnya. Anggaran bisa habis hanya buat untuk seremoni dan pencitraan. Dan parahnya, sehabis seremonial, habis juga semangat untuk melanjutkan apa yang telah dicanangkannya. Karna tujuannya hanya buat pencitraan, bukan memberi dampak. Sementara persoalan riil di derah dan masyarakat seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, malah terabaikan.
Lebih parahnya, pejabat yang mendeeita megalomania itu, sulit terima kritik. Ia merasa dirinya benar, dan yang berbeda justru dianggapnya hanya “nyirnyir” bahkan iri. Sikap seperti ini berbahaya, karena membuka ruang bagi kesewenang-wenangannya.
Akhirnya Si Megalomania Jadi Bahan Tertawaan
Yang seringkali para pejabat megalomania ini lupa adalah, rasa hormat tak bisa dipaksa. Ia lahir dari integritas dan karya yang nyata. Bukan klaim-klaim sukses, hasil survei, kalimat puja puji atau orang-pramg disekelilingnya yang terus bertepuk tangan.
Pejabat yang megalomania mungkin merasa dirinya besar di atas panggung. Namun bagi rakyat, mereka justru tampak kecil. Mereka mungkin mengira sedang dipuja, padahal di belakang, banyak yang justru menertawakan. Dan saat ketika pejabat ini turun, jusyru banyak yang akan mensyukurinya.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |