Pernahkah Anda tahu tentang film AI (Artificial Intelligence) karya Stephen Spielberg di tahun 2001? Dalam film tersebut ada anak robot bernama David yang kepingin jadi anak manusia beneran supaya mamanya betul-betul sayang kepadanya? Film itulah yang membuka mata kita tentang hubungan yang rumit antara AI (Kecerdasan Buatan) dan EQ (Kecerdasan Emosional). Kalau Anda belum nonton, spoiler nih: meskipun David pintar, ada banyak hal yang dia nggak mengerti soal perasaan. Mirip kayak teman kita yang otaknya jenius, pintar pecahin soal sains tapi dia ‘clueless’ ketika ditanya soal interaksi dan hubungan.
So, kali ini saya ingin mengajak Anda kupas tuntas soal hubungan antara AI dan EQ itu.
Begini. Pernahkah Anda berpikir bagaimana jika mesin bisa merasa? Bayangkan Anda tengah menceritakan hari buruk Anda kepada Siri atau Alexa, dan mereka membalas dengan, “Wah, itu pasti rasanya ngenes banget ya. Mau denger lagu galau untuk menemanimu?” Lucu memang, tapi itulah gambaran sederhana dari upaya menggabungkan AI dan EQ. Namun, sejauh mana mesin dapat merasakan emosi manusia?
Emotional Quotient (EQ) atau Kecerdasan Emosional adalah kemampuan kita untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi. Di sisi lain, AI, dengan segala kecanggihannya, masih berjuang untuk meniru aspek-aspek EQ manusia. Walaupun sudah canggih, ada hal-hal tertentu yang tetap jadi “PR” buat AI.
Pertama, soal merasakan emosi. Kita sebagai manusia merasakan emosi dengan intensitas yang mendalam. Misalnya, saat melihat anak pertama kali berjalan, kita bisa merasa bangga, haru, atau bahkan terharu hingga meneteskan air mata. Sementara AI, meski bisa mengidentifikasi momen tersebut, hanya akan berpikir, “Oh, ini momen bahagia.” Tapi, apakah AI bisa merasa? Tentu tidak. Ini seperti saat kita menonton pertandingan sepak bola bersama robot. Anak Anda mencetak gol, Anda melompat kegirangan. Robot? Mungkin hanya akan bilang, “Gol terdeteksi.”
Kemudian, ada koneksi emosional. Dua orang bisa merasa terhubung saat berbagi cerita atau pengalaman. Saat bencana alam melanda, tetangga saling membantu dengan rasa empati yang tulus. Sementara AI mungkin bisa membantu evakuasi atau distribusi logistik, tapi soal “pelukan hangat” dan “ketepukan di punggung”? Maaf, AI masih belum bisa.
Selanjutnya, intuisi atau ” gut feeling”. Manajer yang baik biasanya punya intuisi kuat. Saat salah satu karyawannya tampak murung, dia bisa mendekati dan bertanya apa yang terjadi. AI mungkin bisa mendeteksi perubahan ekspresi wajah, tapi “feeling” atau “rasa” bahwa ada yang tidak beres? Hmm, sepertinya itu masih jadi domain kita, manusia.
Empati juga jadi PR besar buat AI. Misalnya, seorang dokter yang memberi tahu pasien tentang diagnosis penyakit serius tentu merasa berat hati. Misalkan, seorang dokter pediatrik harus memberitahukan soal penyakit langka kepada ibu si anak yang terdiagnosa. AI mungkin bisa memberikan data dan statistik, tapi merasakan kesedihan? Nah, itulah yang bikin kita sebagai manusia, lebih special!
Terakhir, pertumbuhan emosional. Kita belajar dari kesalahan dan pengalaman. Seperti Lina, yang awalnya patah hati saat ditolak universitas impian, tapi kemudian menemukan jalan lain dan merasa lebih kuat. AI? Dia tidak punya “hati” untuk patah atau “semangat” untuk bangkit.
So kesimpulannya? Meski AI semakin pintar, ada hal-hal yang membuat kita, manusia, tetap unik. Mesin mungkin bisa belajar, tapi merasakan? Well, sepertinya kita masih punya keunggulan di sana. Jadi, next time Anda berbicara dengan Siri atau Alexa, ingat, di balik kode-kode programnya, mereka tetaplah mesin. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti mereka bisa belajar merasakan. Hmmm, siap-siap ya!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |