Tahukah Anda… Suatu hasil survei yang mengejutkan yang pernah dillakukan di Amerika menunjukkan bahwa, “85% anak-anak yang bermasalah ternyata tumbuh tanpa ayah”. Lalu, “71% anak sekolah menangah berhenti sekolah ternyata tanpa ayah”. Jadi, tak diragukan lagi peran ayah bagi perkembangan anaknya. Bahkan, konon hasill penelitian itu dilakukan di Amerika tatkala di era Obama menjadi presiden. Ceritanya, pernah ada masa ketika tingkat kriminalitas meningkat begitu tajam. Lalu para peneliti diminta untuk menggali, apakah yang menjadi latar penyebab masalahnya. Ternyata, selidik demi selidik, mereka menemukan satu kesamaan yang menarik di antara para criminal ini yakni tidak hadirnya figur ayah dalam kehidupanmereka.
Yang menjadi pertanyaan, mengapakah figur ayah, bukannya ibu? Tentu saja, Ibu tetap menjadi titik sentral dalam pertumbuhan sang anak. Dan umumnya sudah menjadi tradisi dimana seorang anak pasti dibesarkan oleh ibunya. Namun, yang seringkali menjadi problem, apakah sang ayahnya mendampingi saat proses pertumbuhan anaknya? Itulah yang menjadi tanda Tanya besar.
Secara psikologis seringkali dikatakan bahwa seorang anak belajar soal aman tidaknya dalam berhubungan dengan dunia (self & social anxiety) dari sang ibu. Dari ibunya, biasanya seorang anak akan belajar soal bergaul dan berinteraksi dengan lingkungannya. Tetapi, justru pembelajaran soal nilai-nilai dan prinsip, akan diperoleh dari figur sang bapak. Biasanya, figure kelaki-lakian sang ayah (maskulinitas) akan menjadi role model bagi sang anak soal prinsip-prinsip dimana ia harus menjadi tegas, bagaimana mengambil risiko dan tantangan dalam hidupnya (risk taking), serta nilai-nilai hidup lainnya seperti integritas, kedisiplinan, mengalah, ketegasan, pengendalian diri, dll.
Seringkali, alasan utama sang ayah tidak hadir dalam kehidupan anaknya adalahsatu, tidak ada waktu sama sekali. Biasanya, pengasuhan anakpun diserahkan kepada sang Ibu. Maka kita pun melihat sang ibu yang sibuk setiap hari dalam berbagai kehidupan anaknya, sementara sang ayah pulang dari kerja hanya tahu satu hal, semua urusan di rumah sudah beres! Dan inilah yang menyebabkan sang ayah seolah-olah fungsinya hanya sebagai pendukung financial saja. Dan untuk yang lainnya, seakan-akan sang ayah tidakdibutuhkan. Sayapun teringat dengan kalimat mengenaskan dari seorang remaja SMA peserta EQ Youth camp kami, “Bagi saya, ada atau tidaknya Bapak di rumah nyaris tidak ada bedanya. Masalahnya, Bapak tidak pernah terlibat dalam kegiatan apapun di rumah, apalagi aktivitas terkait sekolah kami”
Dalam ilmu teori psikologianalitis Carl Gustav Jung, sosok sang ayah mewakili sisi animus atau sisi maskulin dalam kehidupan kita. Ayah adalah penyeimbang dari sisi kelembutan yang dimiliki oleh seorang ibu. Dan unsur-unsur maskulinitas ini penting, sebab ketidakhadiran sisi ini bias memberikan berbagai dampak. Apa saja?
Pertama, bagi anak putra, sosok ayah menjadi role model ketegasan. Ketidak hadiran sosok ayah bisa membuat sex role model sang anak jadi kacau. Tak jarang kita mendengar anak cowok yang mengalami disorientasi seksual alias homosex, gara-gara ketidak hadiran sang ayah oleh karena dia dibesarkan di lingkungan yang penuh unsure kewanitaan. Akibatnya, ia pun menjadi tertarik dengan sesame lelaki ataupun mencari lelaki untuk mengganti figure ayahnya yang hilang.
Kedua, bagi anak putri, sosok ayahpun menjadi pria pertama yang dijumpainya di rumah. Ayanya akan menjadi sosok laki-laki yang diidamkannya. Ketidakhadiran sang ayah bagi seorang anak wanita akan membuatnya bingung dan tidak tahu harus mencari seorang pria yang seperti apa dalam hidupnya. Tidaklah mengherankan jika akhirnya banyak terjadi kenakalan remaja putri yang disebabkan pula oleh tidak hadirnya sang ayah dalam kehidupan mereka.
Ketiga, sisi maskulinitas ayah mengajarkan soal ketegasan dan kedisiplinan. Kehadiran sang ayah yang tegas dan disiplin, umumnya juga menjadi contoh sekaligus bekal bagi sang anak soal mana boleh dan tidak boleh dalam hidupnya. Sebenarnya nilai ini pun didapat dari ibunya, tetapi umumnya, seorang ayah akan menampakkan ketegasan yang lebih kentara. Dari figure inilah sang anak akan belajar. Itulah sebabnya, saya teringat tatkala seorang tokoh nasional yang terkenal dengan ketegasannya dalam memberantas korupsi di Negara kita pernah berujar, “Saya belajar semangat ketegasan terhadap prinsip ini dari ayah saya!”
Akhirnya, ayah pula yang mengajarkan keberanian dan kenekatan dalam mengambil risiko. Oleh karena ayah mewakili sisi kelaki-lakian, pola permainan dan cara bermainnya pun berbeda. Biasanya, mainan mereka lebih mengandung unsure bahaya, menantang dan punya risiko. Dan hal inilah yang terkadang dibutuhkan di kelak kehidupannya si anak. Tanpa role model yang baik, sang anak bias penuh dengan ketidakberanian mengambil risiko ataupun sebaliknya, tidak punya ketakutan sama sekali terhadap risiko dan bahaya.
Nah, semoga saja bagi kaum ayah, kita menyadari bahwa pendidikan anak bukan hanya tanggungjawab si Ibu saja tapi juga si Bapak-nya!
Anthony Dio Martin, “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, pembicara, ahlipsikologi, penulisbuku-buku best seller, host radiotalk di SmartFM. Website: www.anthonydiomartin.com dan IG: @anthonydiomartin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |