Pernahkah Anda rasakan kebenaran dari kalimat itu?
Tidak pernah? Syukurlah!
Kalimat itu terlontar dari rekan saya yang sudah hampir 20 tahun bekerja di bidang HR. Posisinya sudah terasa mentok di perusahaan. Multinasional lagi. Jujur, saya pun pernah merasakan itu setelah kurang lebih 10 tahun kerja. Saat itu, akhirnya saya pindah kuadran dari konsultan HR di perusahaan consulting ‘Big Five’ untuk menghidupi mimpi membangun bisnis saya.
Jadi, ada pertanyaan saya kepada rekan saya itu. “Kenapa baru sekarang merasakannya, setelah 20 tahun berlalu?”.
Kalau dianalisa, kalimat yang diucapkan teman saya itu bisa kita maknai dua. Satu, maknanya positif terkait dengan proses pematangan yang sedang ia alami. Tapi, sekaligus ada yang bisa disesali , dan jadi catatan penting buatnya.
Sisi baiknya apa? Perasaan teman saya itu mengatakan dia siap naik kelas. Siap untuk tantangan lebih. Hal ini mirip seperti kita berada di suatu permainan atau pertandingan. Ketika kita merasa bosan karena merasa sudah hafal. Itu-itu melulu tantangannya. Artinya, kita siap untuk dikasih tantangan baru.
Namun yang perlu disayangkan ada 2 hal. Pertama, mengapa butuh cukup lama yakni 20 tahun untuk menyadari proses pembelajarannya tentang HR? Dua, ketika suatu ilmu menjadi membosankan, bisa jadi teman saya itulah yang sebenarnya kurang kreatif.
Yuk, kita diskusikan apa yang dialami rekan tersebut serta beberapa fakta-fakta diseputaran komentar soal ilmu HR yang membosankan ini.
Ilmu HR membosankan? Iya. Begitulah pandangan banyak orang. Tak mengherankan kalau Anda cari di google, ada banyak pertanyaan karir oleh para pencari kerja di seputaran pekerjaan HR yang isinya, “Saya ingin kerja di HR, tapi pekerjaannya apakah membosankan?” atau, “Saya tertarik di bidang HR, tapi bukankah pekerjaannya itu-itu saja?”
Nyatanya, kesan banyak orang soal HR memang begitu. Salah satu tulisan blog menarik pernah dibuat seorang HR Advisor dari Australia, Kateena Mills di wattsnext.com dengab judul “Don’t Tell Me HR Job is Boring”. Ia berkisah ketika sedang ngobrol dengan penjaga toko Apple. Tiba-tiba, ia ditanya apa kerjaannya. Ia menjawab di “HR”. Maka dengan senyum kecut ia langsung ditimpali penjaga toko itu, “Iya, saya pernah punya pekerjaan membosankan kayak gitu”. Nah, betul kan bahwa ada banyak yang menganggap HR itu “mbosenin”?
Pertama-tama sekali. Soal ilmu HR yang membosankan. Benarkah? Bisa saja. Kalau kita baca textbook, belajar ilmunya dan menjadi praktisi HR, isinya memang seputar topik yang sama. Mulai dari perencanaan, rekrutmen, pengembangan, membangun relasi industrial, problem perundang-undangan tenaga kerja, manajemen, manajemen talent, kelola kinerja hingga kompensasi. Siklus ilmu HR berputar disekitar topik-topik tersebut. Karena itulah bisa jadi terasa membosankan kalau hanya melihat dari sisi ilmu dan teorinya saja. Jadi, bisa dimaklumi mengapa rekan saya tersebut menjadi bosan.
Kedua, HR menjadi tidak menarik kalau tidak diletakkan dalam konteks tertentu. Makanya, ilmu HR sebenarnya menarik kalau kita bisa meletakkannya dengan konteks dan problem bisnis yang selalu berkembang dan dinamis. Sebagai contoh, tantangan HR di pabrik, akan sangat berbeda dengan HR di dunia perbankan. Industrinya saja sudah berbeda. Termasuk kasus-kasus dan tantangannya akan berbeda. Makanya, belakangan ini saya bertemu dengan rekan-rekan praktisi dan pemimpin HR yang pindah industri. Mereka masih di HR tapi mencari tantangan dengan industri yang lain.
Ketiga, HR banyak diisi dengan prosedur, aturan-aturan, administrasi serta form-form melulu. Itulah sebabnya di beberapa tempat segala fungsi itu mulai digantikan oleh sistem. Aturan-aturan bisa dibaca di sistem. Pengisian form bisa melalui aplikasi. Lantas HR fungsinya apa? Justru HR menjadi lebih menarik ketika bisa berinteraksi, bicara langsung ataupun terlibat sebagai “people expert” dalam memikirkan keterkaitannya dengan project strategis yang mau dijalankan perusahaan.
BE CREATIVE
Pertama-tama. Faktanya orang menarik pun bisa menjadi membosankan, kalau itu-itu saja. Makanya, butuh variasi. Bacalah hal-hal baru tenatng HR. Ikut komunitas Join diskusi diseputaran aplikasi HR terupdate. Lalu, lakukan ‘enrichment’ pengayaan dengan praktek HR yang telah dilakukan sekarang ini. Praktekkan CANI (continuous and neverending improvement) di lingkungan HR sendirian. Setidaknya, hal itu bisa mengatasi kebosanan dan rasa monoton.
BE NOBLE
Kedua, jujur lho, tidak banyak bidang pekerjaan yang memberi dampak langsung kepada kehidupan pribadi, seperti yang dilakukan HR. Jadi, kalau kita melihat dampaknya, harusnya membuat kita bangga dan gembira. Itulah “noble goal” atau tujuan mulianya seorang HR. Jadi, jangan hanya lihat bosannya, tapi jauh lebih penting adalah dampaknya.
BE PROUD
Ketiga, HR bukanlah cost center yang tukang menghabiskan dana. Tapi, “investment center” dalam bentuk manusia yang bisa memberi banyak nilai tambah bagi industri. Bukankah ketika bisa mendapatkan orang yang tepat, membekali orang dengan kemampuan yang tepat serta memberi saran penugasan yang tepat berarti membuat perusahaan berinvestasi pada sesuatu yang amat berguna bagi masa depan?
So, kalau kita simpulkan. Jangankan di HR, di bidang pekerjaan apapun, terkadang kita akan memasuki masa ‘krisis’. Itulah masa ketika kita mempertanyakan, “Kok kerjaannya begitu-begitu saja?”. Hanya saja, ada yang membiarkan perasaan ini lewat begitu saja.
Namun, perasaan ini sebenarnya bisa jadi bahan bakar buat kita untuk lebih maju dalam profesi kita. Peter Senge, penulis buku “The Fifth Discipline” memperkenalkan istilah ‘creative tension’ untuk istilah ketegangan yang memicu kreativitas. Intinya, kalau kita damai-damai saja. Tidak pernah gelisah. Tidak merasa bosan. Jangan-jangan, justru kita tidak pernah menjadi pribadi HR yang kreatif.
Anthony Dio Martin
Writer, Inspirator, Speaker, Entepreneur (WISE)
www.anthonydiomartin.com
IG @anthonydiomartin
Youtube: Anthony Dio Martin Official
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |