Saya ingin kilas balik kehidupan saya sewaktu menjadi mahasiswa. Terus terang, masa mahasiswa saya di Yogya, adalah bentuk pelampiasan saya atas pengekangan yang saya rasakan tatkala sekolah di SMA. Saya sempat stress di SMA, serta merasa tersiksa di sekolah yang muatan akademiknya sangat ketat.
Waktu itu, terus terang saya pun tidak menyukai jurusan Fisika di SMA, yang harus saya pilih. Tetapi, karena sistem pendidikan kita menciptakan sistem bahwa kalau masuk A1 (Fisika) maka ketika test masuk perguruan tinggi negeri pilihannya ada 3. Sementara, kalau hanya jurusan A3 (social ) pilihannya ada 2. Makanya, sayapun pilih A1. Apalagi, saat itu muncul kesan bahwa A3 itu jurusannya orang malas, yang kemampuan akademiknya terbatas sehingga masuklah ke A3. Padahal, setelah bekerja dan kalau saya lihat, toh banyak kok temen-temen semasa SMA yang ambil jurusan A3 yang juga sangat sukses!
Nah, kembali ke masa kuliah.
Salah satu bentuk pelampiasan saya adalah dengan masuk ke bidang jurnalistik. Waktu itu, di kampus UGM, ada majalah mahasiswa namanya Balairung. Disitulah saya belajar dan mengasah diri saya. Banyak wartawan, jurnalis idealis hebat serta penulis buku jepolan yang merupakan jebolan dari Balairung ini. Tempat kami berkumpul biasanya disebut sebagai B-21, karena alamatnya memang di Bulaksumur No.21.
Maka mulailah saya belajar berorganisasi, menulis, mengasah ketajaman berdebat, berargumentasi hingga belajar menjual (karena seringkali pers mahasiswa kebentur persoalan dana, sehingga harus mencari dana kemana-mana).
Satu pengalaman tak terlupakan adalah tatkala bersama seorang rekan saya, berangkat ke Timtim (sekarang Timor Leste). Disana, kami tinggal nyaris sebulan mewawancarai para clandestine (gerakan bawah tanah di Timtim) serta mendengarkan bebagai kisah dibalik berbagai sikap TNI di Timor Leste. Saat itu, saya meninggalkan Yogya dan kuliah selama hampir sebulan lebih. Untungnya, saya membangun hubungan yang baik dengan para dosen, sehingga saya tidak “dihukum” lantaran sering nggak masuk. Dengan berbekal pinjam catatan dari teman, saya ikut ujian dan nilainya masih tetap baik. Syukurlah!
Saya pun kemudian aktif di kegiatan forum diskusi. Sampai akhirnya, oleh teman-teman, saya sempat diangkat menjadi kepala Forum Kajian Sosial Humaniora. Sebuah forum kajian rutin yang membicarakan soal berbagai permasalahan social yang terjadi. Kami berdiskusi, berdialog dan berdebat sampai larut malam. Menghadirkan para dosen dan narasumeber yang kompeten. Buat saya, ini kegiatan yang mengasyikkan. Dan setelah itu, sayapun menuliskannya.
Soal tulis-menulis. Saya juga punya cerita.
Sekarang ini, dengan lebih dari 16 buku yang saya terbitkan, orang bertanya, “Pak Anthony Dio Martin. Bapak pasti punya bakat menulis yang luar biasa!”
Saya selalu menjawab degan ketawa, “Anda salah. Saya adalah seorang penulis kepepet!”
Ceritanya waktu itu, kadang kiriman uang dalam bentuk wesel dari rumah bisa telat. Akibatnya, dana untuk menyambung kehidupan mulai terbatas. Nah, salah satu cara untuk menyambung nafas kehidupan itu adalah dengan menulis di koran. Dan untungnya, saat itu di koran ada rubric “Debat Mahasiswa”, berisi kolom yang bisa ditulis apapun. Honor sekali muat adalah Rp20.000 (iya, saya nggak salah tulis, itu adalah dua puluh ribu rupiah). Tapi untuk di Yogya, itu bisa jadi uang makan sebulan di jaman saya. Karena yang namanya nasi gudeg hanya Rp300 (kalau pake telur, harganyaRp 500). I love Yogya. Saat itu, dan hingga sekarang, Yogyakarta selalu sangat ramah kepada para mahasiswa yang kere, seperti saya waktu itu.
Selain berbagai aktivitas berdiskusi dan menulis itu, saya pun mulai terlibat dalam berbagai kegiatan sosial mengajar. Mengajarkan program-program latihan kepemimpinan untuk adik-adik SMA. Kadang menemani mereka live in, tinggal di antara para petani, pemulung, dll. Disinilah, dalam berbagai kesempatan, saya punya peluang mengajara berbagai sesi “Who Am I” untuk mengenali diri dan mengembangkan diri. Tema yang sangat sesuai dengan kulaih saya di psikologi. Saya cuma senang ketika punya kesempatan untuk berbagi dan mengajar. Apalagi, bisa melihat wajah-wajah adik SMA yang penuh semangat setelah diajarin. Padahal, ini sepenuhnya sosial, alias tanpa bayarannya. Tapi ketika mengenangnya kembali, justru saya berkesimpulan begini, “Tatkala kita melakukan sesuatu secara total, tanpa mengharapkan bayaran, dan hasilnya ternyata sungguh bisa dinikmati oleh orang yang diberi, disitulah kita mendapatkan level kepuasan tertinggi!” Nggak percaya? Cobalah lakukan! You’ll get the highest satisfaction!
From Campus World to Corporate World
Lantas, dari dunia mahasiswa saya ingin menariknya ke kehidupan sekarang.
Sekarang, dunia saya adalah memberikan training, menulis serta menginspirasi orang. Itulah pekerjaan saya. Tapi, ketika saya menarik benang merahnya, saya melihat semuanya yang saya lakukan sekarang, ternyata sangat terkait dengan apa yang saya lakukan sewaktu masih kuliah. Ternyata, berbagai tantangan, pekerjaan, aktivitas hingga kesuksesan maupun kesulitan yng saya temui sewatu menjadi mahasiswa, justru mempersiapkan saya dengan baik memasuki dunia pekerjaan dan dunia.
1. JANGAN SEKEDAR KULIAH
Betul, jangan cuma sekedar kuliah saja. Kecuali memang harus bekerja, maka gunakanlah waktu mahasiswa untuk aktif dalam berbagai kegiatan. Syukur-syukuryang ada hubungan dengan mata kuliah dan jurusan yang diambil sekarang. Tapi kalaupun nggak, nikmatilah dan belajarlah dari aktivitas itu. Saat kita mengikuti dan terlibat dalm suatu organisasi, kita jadi belajar. Belajar mengatur organisasi, belajar dipimpin ataupun memimpin. Belajar bekerjasama dengan orang sekaligus konflik dngan orang. Nah, di dunia kerja juga akan seperti itu.
2. KULIAH = MASA TRANSISI PENTING
Kuliah adalah masa transisi penting. Sewaktu kuliah, kamu tidak diatur lagi kayak anak SMA. Tapi disisi lain, kamu masih dibiayai oleh orang tua (kebanyakan begitu sih ya?). Nah, inilah kesempatan terbaik untuk belajar menggunakan waktu yang ada untuk mengembangkan diri. Di satu sisi memang kamu harus membuktikan bahwa nilai akademiknya tetap terjaga dengan baik. Tetapi, di sisi lain selain kuliah, gunakan waktumu untuk belajar sisi kehidupan yang lain. Saya menyarankan dua, selain bisa terlibat dalam berbagai aktivitas di kampus juga bisa digunakan untuk mengupgrade diri dengan skills dan ketrampilan yang berbeda. Apa contohnya? Misalkan saja, di HR Excellency kita bahkan sengaja mengembangkan suatu program EQ Goes To Campus. Yakni suatu cara belajar Kecerdasan Emosional bagi para mahasiswa.
Nah, di banyak lembaga lan, ada juga berbagai program seperti ini yang bisa kamu ikuti untuk membuat dirimua bukan hanya pinter dengan “ilmu” di kampus, tapi juga dengan ilmu-ilmu kehidupan lainnya.
3. AKTIVITAS KULIAH MENENTUKAN DITERIMA TIDAKNYA UNTUK BEKERJA
Ketiga, saat interview kerja, kamu biasanya akan ditanya seputar, “Dulu aktif di kegiatan apa saja?” atau “Apa yang kamu lakukan ketika masih kuliah”. Ini pertanyaan standard tatkala seorang interviwer di tempat kerja tidak punya refernsi dari tempat kerja sebelumnya. Maka, latar belakang aktivits kamu menjadi bahan yang digali. Nah, kalau kamu tidak pernah aktif dan tidak ikut sertadalam apapun, kamupun tidak punya apapun untuk diceritakan. Peluangmu diterima, bisa mengecil meskipun kamu mengantongi IP yang tinggi. Karena biasanya si interviewer akan berkesimpulan, “Anak ini pasti tahunya cuma kuliah aja. Tapi nggak ada pengalaman organisasi”. Saya tahu, karna saya pernah di posisi sebagai orang yang menginterview anak baru yang akan diterima masuk kerja.
Tapi sebentar, kamu mungkin pernah bertanya gini,
TAPI PAK, BAGAIMANA DENGAN KOMENTAR PARA MOTIVATOR YANG MENGATAKAN “UNTUK SUKSES KAMU TIDAK PERLU GELAR YANG TINGGI”?
Saya punya jawaban yang praktis.
Pertama, ketika si motivator itu mengatakan demikian, kehidupannya tidak punya pilihan. Karena kondisi ekonomi, mereka-mereka itu tidak bisa melanjutkan. Akhirnya, mereka harus berjuang dan kini mereka menceritakan perjuangan itu. Jadi, kondisi kamu dengan dia adalah berbeda! Kamu pilihan untuk kuliah, kenapa tidak kuliah dan menambah wawasan pengetahuanmu. Kecuali, kamu memang tidak punya pilihan. Atau, kamu sudah begitu yakin bahwa kehidupanmu kelak tidak akan membutuhkan pengetahuan tambahan apapun! Tapi, hmm… apakah kamu yakin?
Kedua, memang sih kuliah tidak menjamin kamu akan sukses. Tapi, seringkali sukses harus dibukakan pintunya melalui gerbang kuliah. Misalkan saja, untuk sukses dan berkiprah di perusahaan, rata-rata mensyaratkan kuliah. Jadi, sama sekali kamu tdak bisa datang melamar di perusahaan sambil berkata, “Maaf ya Pak/Ibu. Saya orang yang tidak percaya pendidikan. Saya sangat rajin dan mau bekerja keras. Tolonglah saya dikasih kesempatan menjadi staf disini. Akan saya buktikan”. Sekeras apapun kamu berusaha, paling-paling tatkala diterima, kamu akan dimasukkan ke level yang sanga bawah karna di anggap tak berpendidikan. Disinilah kamu bisa melihat kenyataan, bahwa meskipun kamu mengatakan tidak peduli soial pendidikan, bagaimanapun perusahaan masih mnsyaratkan S-1 sebagai jenjang minimal. Makanya, tidaklah mengherankan banyak karyawan yang memutuskan kembali bekerja karna sadar kalau karir mereka mau lebih baik, mereka butuh gelas S-1.
Akhirnya, saya ingin tutup dengan kalimat menarik dari Seneca, seorang filsuf dan pujangga Romawi: non schole, sed vitae discimus. Artinya “Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup”. Termasuk ketika kuliah, kita pun sebenarnya bukan sekedar demi belajar saja, tapi sedang mempersiapkan kehidupan kita.
Ok. Semoga tulisan ini menginspirasi kamu untuk tidak menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |