“Kutukan Anak-Anak Jenius”. The Curse of the Genius. Itulah judul besar majalah The Economist edisi bulan Juni 2019 ini. Ternyata, anak-anak yang jenius, yang pintar di sekolah berpotensi bermasalah. Orang tua harus waspada! Intinya, anak yang bodoh jadi masalah buat orang tua. Tapi, yang pintar pun ternyata membawa problem tersendiri. Itulah sebuah peringatan di dalam artikelnya.
Seorang guru bercerita, soal anak muridnya yang kini di bangku akhir SD. Anak itu begitu pintar. 3 besar di kelas. Tapi perilakunya agak mengkuatirkan. Si anak ini, punya rasa iri yang luar biasa. Juga sangat memusuhi orang-orang yang dianggap lebih pintar. Kadang-kadang, ia sengaja menyembunyikan barang teman-temannya sehingga mereka dihukum. Beberapa perilaku buruknya tertangkap basah. Tapi, kelada gurunya ia pernah berkata, “Awas ya kalau menceritakan ini sama orang tuaku”. Bayangkan, gurunya pun diancam.
Begitu juga, ada seorang juara kelas di SMA yang sangat merusak. Siapa yang dirusak? Dirinya sendiri. Kalau dia dapat nilai jelek ataupun gagal dalam sesuatu. Ia cenderung dengan emosional, bisa menghancurkan banyak hal. Bahkan, selain merusak barangnya sendiri. Ia pun bisa menyilet dirinya.
Mengerikan bukan?
Anak-anak yang pintar, tapi mengkuatirkan. Itulah sebabnya dalam artikel menarik itu dikatakan pula bahwa anak-anak yang pintar butuh dikembangkan karakternya.
Hal ini mengingatkan saya pula dengan sebuah film layar lebar dari Thailand yang sangat bagus judulnya “The Bad Genius”. Kisah ini bercerita soal anak-anak genius yang lantas menggunakan kepintarannya untuk menipu dan berbagai tindakan jahat untuk mengakali sistem tes.
Dan kalau kita simpulkan, inilah yang terjadi ketika remaja pintar yang tanpa karakter.
Pertama-tama, manipulatif. Artinya menipu ataupun memanipulasi. Beberapa kasus kejadian dimana terjadi manipulasi data dan nilai. Ternyata, banyak diantaranya yang dilakukan justru oleh remaja yang pintar dan nilainya bagus.
Kedua, eksplosif. Remaja-remaja pintar tetapi emosinya tak terkendali, bisa sangat mengerikan. Dengan kepintarannya, mereka bisa menjadi sangat eksplosif dan merusak. Perusakannya pun tidak tanggung-tanggung.
Ketiga, self destructive. Merusak dirinya sendiri. Beberapa remaja yang pintar tapi tidak mampu kegagalannya, bisa jadi sangat destruktif, khususnya pada dirinya sendiri. Bahkan tahukah Anda, justru banyak diantara pengguna narkoba di usia remaja, ternyata punya latar belakang IQ yang tinggi?
Keempat, negative. Ketika kepintaran dipakai untuk memikirkan dan merespon secara buruk, apa yang terjadi? Hasilnya adalah seorang yang pintar, tapi cenderung negatif. Kalau kita perhatikan banyak tokoh jahat (antagonis) dalam film umumnya adalah tokoh yang pintar, genius namun daya pikirnya cenderung ingin merusak. Jadilah mereka tokoh yang negatif.
Nah, kebayangkah Anda jika kita memiliki anak muda yang begitu cerdas, namun sangat negatif dan merusak? Hasilnya, kepintaran itu bukannya memberikan manfaat tapi justru mudarat. Merugikan. Membahayakan.
Itulah sebabnya, sementara banyak orang tua begitu peduli dengan rapor anaknya. Sampai-sampai berbagai les ini itu diberikan, agar mereka menjadi pintar. Tapi, kalau kita perhatikan berbagai kasus di atas, apalah artinya pintar kalau itu lantas merusak? Merusak buat dirinya dan merusak buat lingkungan sekitarnya?
So, bagaimana orang tua serta pendidik menyikapi anak-anak yang cerdas ini?
Pertama-tama sekali, janganlah sekali-kali orang tua menganggap kalau anaknya pintar maka artinya tidak ada masalah. Terkadang, anak-anak ini menyimpan banyak beban yang mungkin tak terkatakan. Karena itu, menjadi rekan dan sahabat anak-anak pintar ini adalah perlu.
Selain itu, jangan melabel anak-anak yang pandai dengan kalimat seperti “pemberontak”, “nerd”, “aneh”, dll. Terkadang, dengan kepintarannya, anak bisa berlaku aneh dan tidak biasa. Terkdang mereka bisa bayak bertanya. Hargai dan sikapi secara positif, keingintahuan serta pikiran kritis mereka. Bukan langsung dipatahkan.
Dan, dengan mengacu dari artikel di majalah Economist tersebut, adalah penting pendidik dan orang tua menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan. Itulah sebabnya di luar negeri, siswa-siswa dan mahasiswa diminta untuk mengambil art, selain mata kuliah science. Begitu pun, orang tua jangan hanya menjejeli dengan les akademik, mereka perlu memikirkan kegiatan dan aktivitas yang melatih otak kanan mereka.
Di sisi lain, pengembangan kemampuan personal perlu pula diberangi dengan pengembangan interpersonal. Orang tua bisa mendorong anak-anak pintarnya untuk terlibat pula dalam kegiatan yang memaksa mereka untuk harus bersosialisasi.
Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa kepintaran, tidak selalu emrupakan anugerah. Kalau tidak terdampingi ataupun tidak dituntun dengan baik, maka kepintaran anak-anak ini justru bisa menjadi bencana. Majalah economist menyebutnya sebagai KUTUKAN.
Catatan:
Oya, itulah sebabnya sejak 9 tahun lalu, tim HR Excellency memiliki inisiatif untuk melakukan EQ Youthcamp di setiap bulan Juni dan Agustus,pada saat liburan sekolah. Ingin tahu lebih banyak soal program ini. Silakan kontak dengan tim kami di: 021-3862521 atau 021-3518505 atau juga di WA: 081298054929
Anthony Dio Martin, Writer, Inspirator, Speaker & Entepreneur (WISE).
www.anthonydiomartin.com
IG @anthonydiomartin Youtube Channel: Anthony Dio Martin Official
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |