Inilah hasil soal EQ yang menarik. Terus terang, selama tiga bulan, riset dan survei ini dilakukan dan banyak data menarik yang diperoleh. Sebenarnya, tujuannya riset ini adalah mempelajari fenomena Kecerdasan Emosi (EQ) di tempat kerja, khususnya di Indonesia. Inilah bagian dari riset yang penulis lakukan dalam rangka program doktoral di Touro University Worldwide (TUW). Dan riset ini mencakup 220 eksekutif dan profesional yang dipilih secara selektif untuk mengungkap level EQ serta pengaruhnya terhadap kepuasan kerja, komitmen terhadap perusahaan serta kinerja mereka.
Yang jelas, belakangan ini, EQ memang sedang menjadi trend. Bahkan, setiap kali para pemimpin dari berbagai negara berkumpul di setiap akhir tahun dalam World Economic Forum (WEF), kompetensi Kecerdasan Emosional (EQ) selalu disebut sebagai salah satu soft skills penting bagi para profesional di masa depan. Sebenarnya, ada banyak pula jurnal dan riset yang telah dilakukan soal EQ yang ternyata menunjukkan korelasi positif dengan berbagai aspek penting di tempat kerja. Bahkan ada banyak perusahaan global di Indonesia, seperti Manulife, CIMB Niaga, Samsung, Astra Honda Motor, Mitsubishi yang bekerjasama dengan lembaganya penulis di HR Excellency untuk memberikan training EQ kepada para leader dan staf profesionalnya. Bahkan kerjasama ini berlangsung selama beberapa tahun. So, ini menunjukkan bagaimana perusahaan percaya dan merasa EQ adalah suatu faktor penting bagi kemajuan karyawannya.
Dan secara khusus, artikel kali ini akan menyoroti bagaimana riset disertasi yang baru-baru ini diadakan soal EQ, dengan menggunakan sampel dari populasi para eksekutif dan profesional pilihan di Indonesia.
Nah, apa saja sih kesimpulan penting dari hasil riset disertasi ini?
1. Paham teori EQ, belum menjamin EQnya pintar. Dari hasil penelitian ini, ternyata perjalanan soal EQ memang masih panjang. Berbeda dengan IQ, EQ tidak serta merta bisa langsung terwujud dalam tindakan. Riset ini menunjukkan bahwa memahami teori EQ saja tidaklah cukup. EQ ternyata perlu diwujudkan dalam tindakan. Malahan riset ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mendapat nilai skor EQ yang bagus, belum tentu kinerja dan produktivitasnya bagus. Ini menunjukkan EQ itu soal tindakan bukan teori. Banyak eksekutif yang ternyata mampu menjawab dan skor EQnya bagus. Tapi secara kinerja justru dinilai buruk. Hal ini berbeda dengan nilai IQ yang menjamin kelulusan akademik dan rapor yang bagus. Hal ini agak berbeda soal EQ. Ada profesional yang pintar menjawab soal-soal EQ dengan tepat. Tapi, dalam prakteknya tidak menjamin hasilnya bagus.
2. Mengukur EQ, jangan potensinya tapi aplikasinya. Saat ini sedang berkembang berbagai model tes EQ. Ada yang modelnya skills EQ yang menggali potensi-potensi EQ. Tes ini terinspirasi MSCEIT yang dikembangkan oleh Peter Salovey dan John Mayer. Bahkan penulis sendiri menggunakan tes bernama TKEA (Tes Kecerdasan Emosional Airlangga) yang dikembangkan di fakultas psikologi Unair oleh Dr.Fajrianti dan timnya. Tes ini mengukur berbagi skenario bahkan kemampuan memahami emosi dengan foto berlatar kultur Indonesia. Sebuah tes yang luar biasa. Dari validitasnya, tes ini tidak diragukan lagi karna telah melewati serangkaian ujicoba yang panjang. Namun, masalahnya sekarang bukan di tesnya. Orang ternyata bisa punya hasil tes yang bagus, tapi tidak lantas menunjukkan bahwa dia akan menerapkan EQ yang bagus dalam perilakunya sehari-hari. Ini sama halnya seseorang bisa saja mempunya nilai tes yang tinggi soal berenang. Tapi, nilai itu tak menjamin seseorang itu pandai berenang. Karena itulah, riset ini juga menyarankan pentingnya tes EQ yang mengukur hal-hal yang lebih aplikatif dan praktis, untuk mengungkap kemampuan EQ sebenarnya.
3. Tinggi EQ, tidak serta merta kinerja dan kepuasan lebih tinggi. Malah bisa sebaliknya. Sekali lagi, EQ adalah potensi yang baik. Namun, hal itu tidak akan langsung bisa berpengaruh terhadap kinerja, stress atau kepuasan kerja. Mengapa? EQ adalah ibarat batu berlian kasar. Disinilah berita baiknya adalah EQ bukanlah potensi yang dibawa sejak lahir. Namun, perlu dilatih. Sama seperti berlian yang awalnya batu, tapi perlu diasah dan dipoles. Begitu pula dengan EQ. Seseorang perlu menyadari potensi-potensi EQ dalam dirinya. Atau terkadang, perlu disadarkan. Namun, hasil dari kesadaran ini juga perlu dilatih supaya bisa diterapkan terus-menerus, sampai jadi kebiasaan. Semakin banyak situasi dan skenario hidup, dimana seseorang harus menerapkan EQ, semakin terlatihlah EQ seseorang. Jadi, EQ adalah hal yang harus dilatihkan. Makanya, seseorang ikut training EQ tidak serta merta EQnya bagus, karena tergantung pada situasi dimana ia komit untuk terus mempraktekkan dan menerapkan EQ dalam hidupnya.
4. Training EQ, fokuslah ke aplikasi dan penerapannya. Ketika ditanya, “Ketika ada hal yang memicu emosimu, apa yang Anda akan lakukan”. Terhadap pertanyaan ini, orang bisa saja menjawab, “Tetap kendalikan emosi”. Tapi pertanyaan lebih lanjut adalah, “Bagaimana caranya kendalikan emosi dalam situasi itu?”. Maka disinilah, pentingnya tips dan strategi diberikan. Misalkan saja dalam pelatihan EQ adalah tips manajemen marah (anger management) yang disebut STAR. STAR singkatan dari Stop-Think-Access-Respond. Ini adalah tips mengelola emosi yang bisa dilatih dan dipelajari dengan mudahnya. Maka, saat menghadapi situasi sulit dan memicu emosi, seseorang tahu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, hasil riset ini juga menekankan kepada pihak manajemen, trainer, guru yang melatihkan EQ untuk fokus pada hal-hal praktis yang bisa diterapkan karyawan, peserta, murid serta anak didik mereka. Jika tidak, EQ hanya menjadi sekedar teori yang bagus dipahami tapi tidak ada penerapannya.
So, pentingkah EQ? Tentu saja. Rata-rata eksekutif yang diwawancarai secara random mengakui pentingnya EQ dalam pekerjaan mereka. Apalagi kalau posisi mereka semakin tinggi. Namun, statement ini tidak segampang mengucapkannya. Nyatanya, tidaklah mudah. Soal setelah tahu EQ lantas bagaimana menerapkan EQ. Terpikirkankah ini juga mirip agama. Pengetahuan soal agama, tidak lantas menjamin seseorang itu bermoral. Begitu pula soal EQ ini.
Pada akhirnya, di negeri kita yang multi etnik, dengan berbagai latar belakang, EQ adalah obat yang bisa menetralisir berbagai potensi konflik. EQ juga dianggap sebagai kecerdasan yang perlu dimiliki selain kecerdasan intelektual (IQ).
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |