Pembaca, baru-baru ini dalam Radio Talk rutin saya di SmartFM radiosmartfm.com , ada seorang ibu yang bercerita, “Pak Anthony Dio Martin, saya ditinggal pergi oleh suami saya karena dia ‘kepincut’ sama wanita yang lebih muda. Lantas, hidup saya mulai kacau.” Singkat cerita menurutnya lagi, hidupnya jadi awut-awutan. Ia jadi tidak merawat dirinya lagi. Ia pun keluar dari kerjaan. Dan akhirnya, dalam kondisi menganggur, justru harus jadi tanggungan bagi keluarganya.
Ada lagi kisah kedua. Seorang karyawan tapi masa kerjanya tidak pernah lama. Pengakuannya, “Pak Anthony Dio Martin, saya selalu pindah seperti ‘kutu’ dari satu kantor ke kantor yang lainnya. Dan perasaan, penyebab keluar ku dari kantor selalu penuh kekecewaan. Seringkali, aku merasa jadi korban office politic di kantor.”
Kisah ketiga, ini kisah tatkala mengajarkan Kecerdasan Emosi (EQ) dalam program Kecerdasan Emosi (EQ) untuk kaum muda, EQ Youth Camp yang diadakan lembaga kami HR Excellency hrexcellency.com. Ini kisah dari seorang remaja yang menjadi sangat bandel dan urakan. Ia berkisah, dirinya ikut geng motor hingga melakukan banyak kejahatan. Dalam hatinya, ia banyak menyalahkan orangtuanya karena ia adalah anak angkat sehingga merasa dirinya adalah korban dari orangtua kandungnya.
Jawabannya simple. Semuanya adalah manusia yang sama-sama merasa –saya istilahkan– sebagai orang yang dirinya korban emosional (emotional victim). Dan para emotional victim ini biasanya bersikukuh dengan tiga kepercayaan penting dalam hidupnya. Wikipedia memberikan definisi yang bagus yang bisa dibaca disini: wikipedia.org Intinya ia merasa dirinya adalah korban orang lain.
Jika disimpulkan, manusia dengan emotional victim percaya bahwa orang di sekitarnya lah yang paling bertanggung jawab atas kehidupan buruk yang mereka alami. Jadi, orang lainlah yang paling harus mereka salahkan. Saya ingat ketika menonton film Rocky V. Ada satu adegan ketika si Rocky berjalan dengan anaknya yang sudah dewasa dan anaknya menyalahkan ayahnya atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Singkat kata, si Rocky Balboa yang tua lalu memberi motivasi kepada pada anaknya, “Bertanggungjawablah untuk hidupmu”. Tapi ya begitulah, orang yang merasa jadi korban punya kebiasaan menyalahkan orang lain atas keburukan, kesulitan ataupun masalah yang ia alami. Saksikan videonya disini: youtube.com
Bercerminlah Dulu!
Ada sebuah kalimat motivasi yang saya sukai. Bunyinya: “If you want to know who is the most responsible for where you are in life, take a look in the mirror!” (Jika kamu ingin mengetahui siapakah yang paling bertanggung jawab atas dimana dirimu berada dalam kehidupanmu sekarang, lihatlah ke cermin!). Siapakah yang akan kita lihat? Ya, diri kita sendiri.
Kadangkala, kita begitu sering berusaha mencari korban untuk dipersalahkan atas kehidupan yang kita alami, sampai-sampai kita lupa melihatnya kepada diri kita sendiri. Padahal sebagian besar dari apa yang kita alami, bisa jadi karena sikap, ucapan maupun tindakan kita selama ini. Misalkan saja seorang Ibu yang mengutuk soal nasib sialnya punya anak yang bandel dan suka keluyuran. Bisa saja, anaknya memang nakal. Tetapi, tanpa sadar sikap si Ibu yang sayangnya kebablasan waktu si anak itu masih kecil. Dan sekarang, sikapnya yang terus menerus memaki anaknya saat di rumah, justru membuat situasinya makin runyam.
Atau, baru-baru ini lembaga kami HR Excellency melakukan pelatihan Kecerdasan Emosi (EQ) kepada seorang pimpinan perusahaan ritel dan timnya. Si pimpinan ini berkeluh kesah betapa sulitnya mendapatkan karyawan yang mau total bekerja dan mau melakukan kerja ekstra. Namun, setelah diteliti ia sendiri tidak pernah berkomunikasi dengan bawahannya, memberi motivasi ataupun bersedia memberi ‘ekstra’ atas kerjaan bawahannya.
Disini, sangat penting bagi kita untuk berkata dan membathin, bahwa “Saya tidak selalu bertanggungjawab dengan apa yang terjadi dalam kehidupan saya tetapi saya bertanggungjawab atas bagaimana saya memilih untuk merespon atas apa yang terjadi”.
Memang, ada banyak pengalaman dan situasi yang menempatkan kita menjadi pada posisi sebagai korban (manusia victim). Tetapi, kita bisa memilih menjadi sebagai seorang korban yang selamat (manusia victory). Bagaimana caranya?
Saya punya banyak contoh. Baru-baru ini, di training coaching kami di HR Excellency, ada seorang Ibu yang bercerita, setelah suaminya pergi karena berselingkuh, ia jadi tahu potensi dan kemampuannya untuk membangun bisnisnya. Dan si Ibu ini pun sukses. Atau, ada pula kisah lain dari peserta pelatihan kami. Setelah ditipu berulangkali oleh partner bisnisnya, seorang Bapak memulai usahanya sendiri dan ternyata bisa sukses. Mereka-mereka itulah contoh orang yang mengalami masalah tetapi selamat. Itulah yang kita sebut manusia victory tadi.
Akhirnya, ada beberapa inspirasi yang menarik untuk kita jadikan pegangan.
Pertama, berhentilah untuk merasa menjadi penumpang, tetapi mulailah mau ke depan dan kendalikan hidupmu. Banyak orang yang setelah mengalami kejadian buruk, terus-menerus meratapi dan membuat hidupnya makin buruk. Bukankah hal itu bodoh? Sudah mengalami hal buruk, hidupnya dibuat menjadi makin terpuruk pula. Justru berusahalah untuk maju ke depan, sibakkan kejadian buruk yang Anda alami dan mulailah ambil kendali hidupmu lagi. Ingat: “Jangan biarkan Anda sudah jatuh (karena peristiwa atau masalah orang lain, tetapi tertimpa tangga (akibat emosi dan berbagai keluhan yang Anda ciptakan) pula” .
Motivasi lainnya, berhentilah berbicara dalam bahasa sebagai korban. Misalkan, “Coba kalau saya nggak menikah dengan dia”, “Coba situasinya lebih baik”, “Coba kalau boss saya kayak dia”. Stop semuanya! Cobalah realistis dan bicaralah dalam bahasa kenyataan yang membangun, misalnya “Memang tidak mudah menikah dengannya. Tapi saya akan bisa lewati”, “Memang situasinya nggak mudah tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang?”, “Boss saya memang bukan kayak boss lain yang baik. Apa pilihan sikap saya sekarang?”.
Dan akhirnya inspirasi berikutnya, berhentilah mengharapkan dan bermimpi hidup Anda akan lebih baik tetapi lakukanlah sesuatu untuk mewujudkannya.
Akhirnya, saya suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Paul McGee, yang juga dijuluki the SUMO guy thesumoguy.com. Beliau adalah salah satu penulis favorit saya. Salah satu kalimatnya yang menarik untuk menjadi inspirasi terakhir kita adalah: “SUMO = Shut up and Move On.
Selain tips diatas, salah satu artikel yang pasti akan menarik dibaca adalah tulisan saya di websitenya HR Excellency soal “Manusia Toxic” serta racun penawarnya yang bisa Anda baca di sini: hrexcellency.com
So kesimpulan akhirnya: DIAMLAH! Jangan mengeluh dan mulailah bergerak!
Anthony Dio Martin
“Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta dan host di TV Excellent, kolomnis rubrik Spirit di harian Bisnis Indonesia. Instagram: @anthonydiomartin dan fanpage: facebook.com website: hrexcellency.com
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |