Di sudut sebuah kantor pemerintahan yang kusam, ada seorang pegawai negeri yang dikenal luas. Bukan karena kehebatannya, tapi karena kebiasaannya yang gemar mempersulit. Ia duduk di balik mejanya, dengan wajah datar dan sikap acuh. Setiap hari, ia menyusun berkas-berkas yang datang, menatanya dengan cermat, namun tak pernah dengan niat untuk menyelesaikannya dengan cepat.
Bagi rekan-rekannya, ia adalah sosok yang penuh teka-teki. Ada yang melihatnya sebagai penjaga gerbang birokrasi. Ada pula yang tahu, di balik itu semua, ia menyembunyikan rasa tak percaya diri yang dalam. Dengan mempersulit, ia merasa penting. Ia merasa dirinya dihormati. Setiap penundaan, setiap prosedur yang diperpanjang, memberinya ilusi bahwa ia punya kendali. Kendali atas waktu orang lain, kendali atas keputusan yang seharusnya sederhana.
Namun, apa yang sebenarnya ia kejar? Pengakuan? Atau sekadar pelarian dari ketidakmampuannya menghadapi tekanan? Di balik sikap dinginnya, ada hati yang takut. Takut bahwa jika ia bekerja dengan baik, jika ia melayani dengan tulus, ia akan kehilangan satu-satunya hal yang membuatnya merasa berarti: kekuasaan kecil yang ia pegang dengan erat.
Sikap ini sering kali muncul dari rasa tidak aman yang mendalam. Pegawai yang merasa dirinya kurang mampu atau tidak memiliki prestasi akan mencari cara lain untuk merasa dihargai. Dengan memperpanjang proses, ia menciptakan ilusi kekuasaan. Ketidakmampuan ini sebenarnya bisa diatasi dengan meningkatkan kompetensi, tetapi sayangnya, tanpa kecerdasan emosi (EQ), individu ini memilih jalur yang lebih merusak.
Kecerdasan emosi adalah kunci untuk memahami dan mengelola perasaan ini. Dalam buku Emotional Quality Management yang saya tulis, EQ saya definisikan sebagai “kemampuan menyadari perasaan pada diri sendiri dan orang lain, serta mengelola dan menggunakan perasaan ini menjadi sesuatu yang konstruktif”. Pegawai yang memiliki EQ tinggi akan lebih mudah menerima kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Ia tidak akan merasa perlu memperpanjang birokrasi untuk merasa berharga.
Kisah Pelayanan Publik yang Tersendat
Di balik setiap berkas yang ditunda, ada wajah-wajah lelah yang menunggu. Ada masyarakat yang datang dengan harapan, tapi pulang dengan kecewa. Di balik senyum tipisnya, ada perasaan bahwa ia telah melakukan tugasnya dengan baik. Padahal, ia hanya sedang menyembunyikan ketidakmampuan untuk menjadi lebih dari sekadar bayang-bayang birokrasi.
Ketika pegawai seperti ini mendominasi sistem, hasilnya adalah ketidakpuasan publik. Pelayanan yang seharusnya sederhana menjadi rumit. Proses yang seharusnya cepat menjadi lambat. Pegawai yang merasa dihormati karena mempersulit tidak menyadari bahwa sikap ini justru merusak kepercayaan publik. Dan tanpa kepercayaan, birokrasi kehilangan fungsinya yang paling dasar: melayani masyarakat.
Kecerdasan emosi bukan hanya soal mengelola perasaan. Lebih dari itu, EQ adalah tentang memahami diri sendiri dan orang lain. Menyadari bahwa setiap tindakan kita punya dampak. Bahwa di balik setiap tumpukan berkas, ada manusia yang berharap. Harapan untuk diperlakukan dengan adil, dengan cepat, dan dengan rasa hormat yang sejati.
Menurut Daniel Goleman, EQ memiliki empat kompetensi utama: self-awareness (penyadaran diri), self-management (pengelolaan diri), social awareness (penyadaran sosial), dan relationship management (mengelola hubungan). Dalam konteks PNS, kompetensi ini sangat penting. Pegawai yang memiliki self-awareness akan menyadari perasaan tidak amannya dan mencari solusi yang lebih positif. Self-management membantunya mengelola stres dan tidak melampiaskannya pada masyarakat. Social awareness membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan orang lain, sementara relationship management membantunya membangun hubungan yang baik dengan rekan kerja dan masyarakat.
PNS yang punya EQ tinggi tak akan mencari penghormatan lewat kekuasaan kecil. Mereka akan menemukannya dalam pelayanan yang tulus, dalam senyum yang datang dari hati. Mereka paham bahwa tugas mereka adalah lebih dari sekadar menyelesaikan prosedur. Tugas mereka adalah menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat. Dan jembatan itu harus dibangun dengan kesadaran penuh, bahwa di setiap langkah, ada rasa dan harapan yang harus dijaga.
Ketika kita bicara tentang EQ, kita bicara tentang kemampuan untuk melihat lebih jauh dari sekadar tugas administratif. Kita bicara tentang kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Untuk mengerti bahwa setiap proses yang dipersulit, setiap keputusan yang ditunda, adalah beban yang kita tambahkan pada orang lain. Dan itu bukanlah tanda kekuatan, melainkan kelemahan.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang dibangun di atas fondasi kecerdasan emosi. Di mana setiap PNS bekerja bukan untuk memperlihatkan kekuasaan, tapi untuk melayani dengan sepenuh hati. Bukan dengan menunda, tapi dengan menyegerakan yang seharusnya bisa diselesaikan. Bukan dengan mencari rasa hormat lewat ketakutan, tapi dengan meraih kepercayaan lewat tindakan yang nyata.
Kesimpulan: EQ sebagai Pilar Profesionalisme
Kecerdasan emosi adalah kunci untuk mengubah paradigma birokrasi yang berliku menjadi birokrasi yang manusiawi. Dari pegawai yang mempersulit menjadi pegawai yang mempermudah. Karena pada akhirnya, setiap kita, entah sebagai PNS atau masyarakat, ingin diperlakukan dengan hormat. Dan hormat itu hanya bisa diraih jika kita saling memahami, saling merasakan, dan saling membantu.
Jadi, di balik tirai birokrasi yang berliku, mari kita temukan kembali makna sejati dari pelayanan publik. Dengan kecerdasan emosi, kita bisa mengubah setiap kantor pemerintahan menjadi tempat di mana harapan tidak mati, tapi tumbuh dan berkembang.
Salam Antusias!
-Anthony Dio Martin-
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |