
Ketika Pele, raja sepakbola, di awal karirnya tak terpilih dalam tim nasional, ia tidak menyalahkan dan membenci pelatihnya. Begitu pula ketika, Tanzing Norgay, sherpa yang pertama kali sampai ke Mount Everest mengalami enam kali kegagalan, ia tidak menyalahkan siapapun. Mereka semua tahu, bahwa semakin negatif emosi mereka, semakin mereka jadi tidak produktif dan tidak efektif. “Emosi bisa diibaratkan sesuatu yang ditaruh dalam beban hidupmu. Dia bisa jadi seperti balon udara yang meringankan bebanmu. Atau, bisa juga jadi batu pemberat yang akan semakin menyulitkan langkahmu!”.
Memang ketika kehidupan kita gagal dan tidak meraih apa yang kita dambakan, rasanya mudah untuk menyerah. Makanya, tidak heran dalam kehidupan kita yang tidak sempurna, ada beberapa sikap kita yang justru akan memperparah kondisi buruk yang kita alami. Sikap itu saya sebut sebagai 5 racun emosional. Apa sajakah itu? Kelima racun emosional itu adalah complaining (mengeluh), condemning (menyalahkan), criticizing (mengkritik), comparing (membanding-bandingkan) dan cursing (mengutuk).
Pertama-tama, soal complaining (mengeluh). Saya pun teringat soal seorang karyawan yang merasa jengkel karena ditaruh di tempat yang gelap. Maka, ia pun protes kepada bagian HRD untuk dipindahkan. Akhirnya, ia pun dipindahkan ke tempat yang lebih terang. Namun, disana ia pun protes, “Aduh disini silau sekali”. Memang, seperti si karyawan ini, ada orang yang tidak pernah puas mendapatkan sesuatu. Ia akan selalu mengeluh. Namun, kalau kita perhatikan, sebenarnya orang seperti ini mengeluh tentang dirinya sendiri. Seringkali bukan lingkungan yang ia keluhkan, sebenarnya dirinyalah yang ia keluhkan.
Kedua, racun emosional yang bernama condemning atau menyalahkan. Ada pula yang hobinya menyalahkan. Ketika ada sesuatu yang tidak beres ataupun yang tidak seperti yang ia harapkan maka ia merasa pihak luarlah yang menyebabkan hal seperti itu. Saya mempunyai seorang rekan yang suaminya mogok aktivitas. Sejak dikeluarkan dari perusahaannya, suaminya itu terus menyalahkan. Ia merasa perusahaannya dulu bersikap rasis dan sejak itu ia terus merasa bahwa percuma ia bekerja, karena banyak ketidakadilan yang akan dijumpainya. Nah, daripada bekerja, ia terus menghidupi fantasinya bahwa dunia ini memang tidak akan pernah ramah kepada dirinya.
Ketiga, racun mengkritik. Racun mental satu ini berasal dari orang dengan kacamata yang negatif. Baginya, selalu ada sisi hitam dari segala sesuatu. Karena itu, orang ini selalu bermuram durja dan melihat segala sesuatu dari sisi yang kelabu. Hebatnya, kadang orang ini bisa menjadi pimpinan dan karyawan yang mengatakan, “Saya hanya mencoba menjadi objektif”. Tapi bagianya, selalu ada sisi buruk dari segala sesuatu. Ia sangat susah melihat sisi positif sesuatu dan pasti ada sisi negatif yang dibahasnya.
Keempat, racun membanding-bandingkan. Ia selalu membandingkan. Baginya, hidup ini adalah kalah-menang ataupun menang-kalah. Dan karena ia selalu memabnding-bandingkan maka orang inipun jadi tidak pernah merasa bahagia. Bahkan, lebih seringnya orang ini melihat kekurangannya dibandingkan orang lain. Meskipun orang lain akan mengatakan hidupnya sudah sangat enak, tapi ia tidak berpendapat demikain. Baginya, ada begitu banyak orang lain yang hidupnya lebih enak dan bahagia. Makanya, ia pun terus merasa dirinya kalah.
Kelima, mengutuk. Ini racun yang lebih parah. Tatkala melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan aharapnnya, ia pun mulai mengutuk situasi yang ada. Mungkin saja, ia tidak bisa memperbaiki dan melakukan apapun, tetapi dengan mengutuk orang ini merasa lebih nyaman ataupun membuat ilusi seolah-olah dirinya telah melakukan sesuatu.
Sebenarnya ada 3 hal penting yang bisa dilakukan sebagai penawar dari racun-racun semosional tersebut. Ketiga sikap penting itu adalah: berdamai, beryukur serta berbaik sangka. Intinya, ada hal-hal yang diluar kendali kita yang memang tidak bisa kita apa-apakan lagi. Jadi, daripada mengumpat ataupun mengutuk situasi, cobalah untuk berdamai. Misalkan saja, tatkala kita harus pesta dan hujan turun, berdamailah dengan situasi tersebut. Daripada marah-marah dan menghabiskan energi, berdamailah, lantas pikirkanlah apa hal terbaik yang masih bisa dilakukan. Kedua, tetaplah belajar beryukur dengan keadaan. Ada sebuah pembelajaran menarik dari film “Facing the Giant” yang bisa kita petik dari coachnya yang berjanji “Dalam kemenangan ataupun kekalahan, saya berjanji untuk bersyukur dan memuji Tuhan”.
Dan terakhir adalah sikap berbaik sangka. Berbaik sangka artinya kita menanamkan kecurigaan positif, jangan-jangan hal yang seakan-akan buruk dimata kita sebenarnya punya benih yang baik, yang sengaja diciptakan dan dibiarkan untuk terjadi. Hanya saja, saat ini kita tidak menyadarinya. Nah, sudahkah kita berbaik sangka ataukah kita membiarkan kelima racun emosional ini menghancurkan hidup ataupun kebahagiaan kita?
Anthony Dio Martin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |