James William Sidis adalah seorang genius. Dia adalah salah seorang yang diperkirakan punya IQ setara bahkan lebih dari Einstein. Problemnya adalah, ia tidak suka bersosialisasi. Bahkan cenderung terganggu saat orang bersama-sama. Dan hidupnya ternyata berakhir dengan tragis. Ia meninggal di usia 46 tahun. Dalam kondisi miskin, terasing dan William sendiri tidak pernah menyelesaikan studinya.
Bandingkan dengan seorang Stephen Hawking, sang genius yang cacat. Kepiawaiannya luar biasa. Pikirannya mampu meneropong ruang dan masa. Buku A Brief History of Time adalah bukti kejeniusannya. Tapi, bukan kejeniusannya yang membuatnya terkenal. Ia mampu menjual ide-idenya sehingga menjadi tidak terlalu rumit. Justru kemampuan Stephen Hawking dengan kecacatannya membuatnya gampang dijual dan dipromosikan di media massa. Hawking pernah berkata, “Banyak oang pintar, tapi sia-sia karena tidak bisa menjual ide-idenya”. Ia tidak membenci interaksi sosial. Ia tahu berteman. Maka, ia pun dikenang dan disukai hingga akhir hayatnya.
Hal sama juga dengan Albert Einstein. Ia buka sekedar jenius. Ia tahu, teori-teori fisika tidak akan membawanya kemana-mana. Tapi selain pintar, ia juga cerdik bersosialisasi. Ia berteman dan berkawan dengan para politikus dan negarawan. Ia juga seimbang. Main biola adalah kesenangannya. Lebih dari itu, ia pun pintar menjual ide-idenya. Itu juga yang membuatnya sukses dan dikenang.
Kisah-kisah di atas mengantarkan kita pada sebuah fakta bahwa pintar saja ternyata tidaklah cukup. Ada banyak orang yang pintar. Lulus dengan nilai tinggi. Bahkan dengan berbagai gelar. Namun apa yang terjadi? Mereka tidak sukses hidupnya. Justru temannya yang biasa-biasa saja di sekolah, lebih berhasil dari mereka.
Apakah penyebabnya? Salah satunya, adalah banyaknya anak-anak pintar dan lulusan cerdas yang berpikir bahwa kesuksesan studi adalah tujuan utama. Dunia akan mengagumi dan memuja mereka, karena mereka pandai. Mereka pun jadi over confidence. Di sekolah dan kuliah, mereka terbiasa dielu-elukan. Tapi mereka lupa, saat di masyarakat, tidak ada yang peduli berapa nilai ataupun IP mereka.
Betul, nilai yang tinggi hanya menghantar mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi setelah itu, ada banyak faktor yang dibutuhkan untuk sukses. Diantaranya, pentingnya buat bisa kerjasama. Pentingnya menyesuaikan diri dengan kebutuhan orang. Berempati. Tahan banting. Optimis menghadapi masalah. Tidak gampang stress. Fleksibel. Bisa berinteraksi dengan berbagai orang yang berbeda.
Itulah sebabnya mengapa kecerdasan intelektual saja tidaklah cukup.
Kecerdasan Lainnya
Sementara, pada anak atau mereka yang bersekolah tidak tinggi. Banyak yang sadar bahwa mereka tidak punya keunggulan. Akhirnya mereka mengembangkan keunggulan diri yang lain.
Ini mirip seperti seprang buta yang tidak bisa melihat. Lantas, untuk menutupi kekurangan akibat cacatnya, ia terpaksa harus menajamkan indera yang lainnya.
Begitupun banyak pribadi yang tidak punya kepintaran lewat sekolah, lantas harus mengembangkan kecerdasan lainnya. Makanya, ada Howard Gardner lewat teori kecerdasan majemuknya yang mengatakan. Kalau kepintaran itu tidak melulu pintar di sekolah. Ternyata, ada 8 jenis kepintaran lainnya. Malahan, menurut Howard Gartner, malah ada lebih banyak lagi kecerdasan yang belum dipetakan.
Ada anak dan pribadi dengan kecerdasan lain seperti kecerdasan ruangan (spatial). Kecerdasan interpersonal. Kecerdasan bahasa. Kecerdasan matematika. Kecerdasan dengan alam (natural). Kecerdasan musikal. Kecerdasan dengan tubuh kinestetik. Kecerdasan intrapersonal. Juga, kecerdasan logis matematika.
IQ Perlu, Tapi Bukan Syarat Mutlak
Itulah pula yang menjelaskan mengapa pendidikan itu perlu, tapi bukan menjadi syarat mutlak. Sayangnya, saat ini banyak orang tua yang berpikir seolah-olah, pendidikan itu syarat mutlak kesuksesan anaknya. Bahkan banyak anak dipaksa kursus les ini itu yang membuat bakat aslinya justru tak lagi berkembang.
Termasuk salah satu yang sangat perlu diajarkan kepada anak-anak sejak dini sebenarnya adalah kecerdasan emosional (emotional intelligence) atau EQ. Di dalam kecerdasan ini sebenarnya mencakup kecerdasan intrapersonal dan interpersonal.
Konon, inilah kecerdasan yang banyak membuat orang yang rata-rata pendidikannya bisa sukses. Bahkan, ada banyak pimpinan dan kepala organisasi yang sebenarnya kemampuan intelektualnya biasa-biasa aja. Makanya seringkali dikatakan, IQ membuat diterima tapi EQ-lah yang membuat seseorang dipromosikan.
Jadi, sudah baguskah EQ Anda? Berita bagusnya, berbeda dengan IQ yang sangat tergantung pada faktor bakat bawaan, EQ justru bisa dipelajari dan dikembangkan. Ayo, perlengkapi IQmu dengan EQ yang bagus. Plus extra kecerdasan spiritual yang baik. Maka, kita akan mendekati pribadi sempurna, yang bisa kita capai! Itulah yang akan menghantar kita untuk sukses, plus bahagia!
Anthony Dio Martin, CEO HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, trainer, penulis, executive coach, host di radio bisnis SmartFM. Youtube: anthonydiomartinofficial
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |