“Bapak ini speaker ya?”
“Hmm…saya lebih menyebut diri saya seorang trainer”
“Lho sama aja kan Pak. Cuma beda istilahnya aja?”
“Nggak sih…” dan mulailah saya menerangkannya.
Izinkan saya memaparkan apa yang saya terangkan. Bahkan saya yakin di negara kita ini pun masih banyak yang rancu, overlapping dan bingung membedakannya.
Sebagai ilustrasi awal, baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan trainer yang secara khusus membentuk asosiasi trainer di Malaysia. Yang menarik, secara tegas mereka menyebutkan dengan tegas, “Ini bukanlah asosiasi speaker”. Pertanyaannya: perlukah antara trainer serta speaker dibedakan dan apa bedanya?
Di awal-awal karier saya sebagai pembicara saya tidaklah terlalu ambil pusing. Di Indonesia pun audiens dan perusahaan tidak ambil pusing. Trainer ya bisa jadi speaker. Speaker pun bisa jadi trainer.
Sebenarnya, bagi kita yang profesinya sebagai pembicara, justru kenyataan ini menguntungkan. Kadang seorang trainer diminta menjadi pembicara di suatu conference. Sebaliknya, karena sewaktu bicara di suatu conference atau seminarnya sangat mengesankan maka seorang pembicara diminta untuk memberikan training. Begitulah, seorang trainer menjadi speaker begitupun sebaliknya seorang speaker, ikut menjadi trainer pula.
Tapi, untuk memahami positioning kita yang jelas mari kita lihat perbedaan seorang speaker dengan seorang trainer.
Pertama, durasi speaker biasanya lebih singkat. Durasi seorang speaker bisa dari 5 menit hingga setengah hari (jarang yang lebih dari durasi itu). Makanya saya sering menyebut speaker itu seorang sprinter sementara trainer itu pelari marathon. Karena waktunya singkat maka speaker biasanya tidak bias membawakan materinya dengan sangat detil. Sebaliknya karena trainer punya waktu lebih panjang maka dia punya kesempatan yang banyak untuk berimprovisasi ataupun “menancapkan” materinya.
Kedua, karena waktunya singkat maka tuntutan kedalaman penyampaian biasanya tidak terlalu tinggi untuk speaker. Tapi ini bukan berarti jadi speaker itu mudah. Malahan jadi speaker justru lebih susah dari sisi kecepatan untuk “engage” dengan audiensnya. Sementara, enaknya trainer adalah dia masih punya waktu lebih panjang untuk membangun engagement dengan audiensnya.
Ketiga, tuntutan bagi trainer sebagai subjek matter expert menjadi sangat tinggi. Kalau Anda trainer maka sungguh Anda dianggap sebagai orang paling kompeten dalam menyampaikan materi Anda. Alasannya orang mengikuti training dengan harapan mendapatkan kedalaman ketrampilan dari Anda, jadi bukan sekadar tahu. Karna itu sangat tidak dianjurkan “mengaku-ngaku” trainer di suatu bidang sementara Anda tidak punya kedalaman materi di bidang tersebut. Setelah sekian lama mengajar maka akhirnya Anda akan “tewas dengan sukses” di depan audiens Anda karena mereka akhirnya akan menyadari kedalaman pengetahuan Anda. Sebaliknya, kalau jadi speaker biasanya tuntutan kedalaman tidak terlalu tinggi (makanya banyak speaker yang tidak sanggup menjadi trainer tatkala diminta mengajar dengan waktu panjang). Atau, tatkala diminta menjadi trainer yang dilakukan adalah mengumpulkan para speaker untuk “dirangkai” menjadi satu (dan mereka pun menyebutnya sebagai training).
Tapi, ingatlah. Hal ini tidak berarti seorang speaker tidak perlu jadi subjek matter expert di bidangnya. Kepiawaiannya dalam bidang tersebut justru akan menjadi nilai tambah yang luar biasa. Namun, seringkali seorang speaker diminta bicara karena popularitasnya. Misalkan saja seorang ahli fisika asal Indonesia diminta jadi speaker motivasi di sebuah acara conference untuk anak muda. Atau sebaliknya, seorang artis diminta bicara soal trend online lantaran dia punya toko online yang cukup sukses. Ataupun Menteri diminta bicara soal kebiasaan baca buku. Mereka bisa saja tidak sangat mendalam pengetahuannya soal bidang itu tapi yang jelas mereka terkait dengan hal itu (atau punya hubungannya). Dan itulah sebabnya mereka diminta menjadi spakernya. Yang jelas, speaker merupakan orang yang mendapatkan tempat khusus untuk bicara di suatu event (lebih banyak) karena latar belakangnya.
Keempat, karena nafas seorang trainer harus panjang maka “senjata” yang dia miliki juga harus komplit. Seorang trainer punya tantangan untuk menguasai semua seninya “public speaking”. Dia harus bisa skillsnya public speaking, juga skill fasilitasi, dll. Makanya seorang trainer dituntut banyak: bisa jadi presenter, story teller, pelawak, entertainer, ensiklopedia, fasilitator, debriefer game/activity, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, bagi seorang speaker tuntutannya lebih kepada seni dia mempresentasikan materinya secara menarik. Biasanya bagi seorang speaker, seni di atas panggung seperti memaparkan secara atraktif, menghibur, melawak, berakting, bercerita akan menjadi senjata mereka yang utama.
Kelima, soal seberapa jauhkah tantangan seorang trainer dibanding speaker. Darren Lacroix, salah satu pemenang lomba Toastmaster dengan bangga menyebut dirinya sebagai trainer bukan lagi speaker (baca disini: klik ). Ia mengakui dulunya ia berawal dari speaker tapi ia merasa menjadi trainer lebih memuaskan baginya. Sebab ia merasa lebih bisa mengubah. Dan persis itulah salah satu definisi menjadi trainer: mengubah orang! Entah yang diubah itu adalah mindsetnya, perilaku, ataupun kemampuannya. Yang jelas tugas seorang trainer sebenarnyan berat! Sebaliknya, seorang speaker biasanya tuntutannya hanya sejauh memberi informasi ataupun inspirasi saja. Audiens akan sangat maklum kalau seorang tidak akan membawakan materinya secara mendalam.
Dan terakhir, siapakah yang dibayar lebih mahal… trainer atau speaker? Jawabannya adalah tett..tettt….SPEAKER! Rasanya nggak adil ya? Nggak juga! Tapi faktanya memang begitu. Misalkan saja Richard Branson pemilik Virgin Airlines dibayar nyaris 1 M dalam satu kesempatan memberikan bicaranya. Alasannya, yang membuat mahal adalah pribadi pembicaranya. Tapi para trainer pun jangan berkecil hati. Bayaran seorang Tony Robbins sebagai trainer dunia dalam programnya justru lebih fantastis lagi. Dan kelebihan sebagai trainer adalah jika dia punya program utama (signature) bias dilakukan berulang-ulang yang jika dihitung pendapatannya di masa depan bisa jadi jauh lebih banyak daripada yang diterima seorang speaker.
Nah, sekarang kembali kepada nafas kemampuan bicara Anda. Apakah lebih tertarik menjadi seorang speaker atau trainer? Mungkin Anda akan merasa tulisan ini agak tidak fair karena ditulis oleh saya yang latar belakangnya seorang trainer profesional. Dan itu pula sebabnya passion saya membangun komunitas trainer melalui COMET (Community of Miniworkshop Excellent Trainer) di Indonesia saat ini melalui lembaga MWS – Mini Workshop Series Indonesia (lihat websitenya di: klik) termasuk mengadakan sertifikasi untuk menjadi trainer, bukan speaker. Alasan saya sangatlah sederhana, karena ada kebahagiaan yang tak terucapkan lewat kata-kata tatkala bisa menginspirasi orang untuk menjadi semakin baik atau pun semakin menemukan potensi dirinya. Selain itu saya pun merasa jauh lebih menyenangkan bisa mengenal dan berinteraksi lebih mendalam dengan peserta dalam training dibandingkan dalam seminar yang jumlah pesertanya ratusan bahkan ribuan (kelas terbesar yang pernah saya menjadi speaker adalah sekitar 1500 orang). Terus terang karena begitu banyaknya, saya pun jadi tidak pernah bisa mengenal mereka.
So, dengan tulisan ini semoga kita lebih konsekuen (dan tahu konsekuensinya) tatkala menyebut diri kita TRAINER ataupun SPEAKER. Salam Antusias!
Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, Managing Director HR Excellency & Mini Workshop Series Indonesia, penulis, executive coach, hostradio di SmartFM.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |