
Ini istilah yang aneh. Istilah ini pertama kali saya dengar dalam salah satu meeting di perusahaan farmasi. Sang pemimpin di farmasi di perusahaan sedang begitu jengkelnya. Masalahnya, saat itu ada banyak informasi yang disampaikan, ataupun hanya sekadar di forwardkan tetapi yang menyampaikan berita itu sama sekali tidak mencari tahu lebih lanjut soal berita itu. Dia menyebutnya ini sebagai mentalitas tukang pos!
Awalnya, saya sendiri tidak terlalu suka dengan istilah yang dipakainya. Istilah ini berkonotasi negatif dan mungkin menyinggung pekerjaan tertentu. Makanya, sejak awal si pemimpin ini meminta maaf dengan istilah yang dipakainya, serta menegaskan bahwa ia tidak bermaksud menganggap remeh pekerjaan tukang pos. Malah sebaliknya, ia mengatakan kalau dirinya justu sangat respek dengan pekerjaan tukang pos, tetapi ia menjadi sangat tidak suka tatkala orang yang kerjaannya bukan tukang pos namun sok menyampaikan berita, tanpa mengerti berita apa yang disampaikannya.
Misalkan saja, si pimpinan perusahaan ini berkisah bagaimana baru-baru ini ia menerima berita dari salah satu pimpinan di bawahnya. “Pak, rumah sakit yang biasanya mengambil order dari perusahaan kita mulai menghentikannya bulan depan”. Parahnya, para pimpinan yang melaporkan bahwa tidak tahu sama sekali soal apa yang terjadi. Intinya, mereka hanya meneruskan berita tanpa investigasi lebih lanjut. Bahwa tidak akan ada order dari rumah sakit itu lagi. Titik!
Kejadian seperti ini mengingatkan saya soal cerita humor seorang anak kecil yang disuruh berbohong oleh ayahnya. Karena tidak bisa membayar tagihan, maka seorang ayah menyuruh anaknya yang masih SD untuk berbohong kepada tukang tagih yang datang, kalau dirinya tidak ada di rumah. Ketika si tukang tagih itu bertanya kepada si anak kecil itu, sang anak menjawab, “Ayahku nggak ada di rumah!”. Lantas, si tukang tagih itu bertanya, “Kira-kira kapan ya saya boleh datang lagi untuk bertemu ayahmu?”. Lalu si anak itupun menjawab, “Sebentar saya tanya kepada ayah, kapan kamu boleh kesini lagi”. Tuh, akhirnya ketahuanlah kalau sang ayahnya bohong gara-gara si anak kecil hanya disuruh menyampaikan berita bohong tanpa mengerti maksudnya.
Yang jelas saat ini kita melihat ada banyak manusia dengan mentalitas tukang pos dimana-mana!
Jangan-jangan kita sendiripun menghidupi mentalitas tukang pos ini. Ketika mendapatkan suatu berita, tanpa mengerti apakah itu benar ataukah tidak. Bahkan, kita tidak pernah memfilter lagi apakah itu bagus atau tidak untuk disebarkan, lantas kita pun menyebarkannya. Lebih jeleknya, ketika suatu berita itu kita anggap menguntungkan diri kita ataupun berpihak ke arah kita, tanpa berpikir panjang, kita pun berlomba-lomba meneruskannya. Pada akhirnya, mentalitas semacam inilah yang menyuburkan hoax ataupun berita-berita bohong.
Umumnya, ada dua alasan psikologis yang membuat kita cepat sekali dihinggapi dengan mentalitas tukang pos ini. Pertama-tama, kita ingin menjadi orang yang pertama kali menyampaikan berita tersebut. Kedua, kita ingin merasa menjadi orang penting, karena bisa menyampaikan berita tersebut, serta direspon. Mekskipun, demi kedua tujuan tersebut, akhirnya kita mengorbankan keakuratan dan kebenaran dari informasi tersebut.
Parahnya, dengan menjalankan peran tukang pos yang tidak semestinya, mereka dengan mudahnya mengelak dari tanggung jawab atas informasi yang disampaikannya, apalagi informasi tersebut tidak benar. Bahkan, ketika informasi yang disebarkan itu ternyata keliru, mereka pun dengan ringan hanya berkata, “Saya kan cuma meneruskan informasi saja”.
Saya pun teringat dengan pengalaman baru-baru ini ketika salah seorang alumni SMP saya dikabarkan meninggal dunia. Semua orang pun langsung mengucapkan belasungkawanya. Dan group WA kami dipenuhi dengan kalimat-kalimat sedih yang mendoakan “teman yang meninggal itu”. Berita itupun dikirim kemana-mana. Dan untungnya, ada beberapa teman yang tidak percaya lantas mengatakan, “Saya membaca status istrinya di sosial media yang mengatakan pagi ini, masih pergi mengantar anaknya sekolah dan belanja. Mana mungkin bisa bikin status seperti itu kalau suaminya meninggal?” Lantas, ada beberapa teman saya yang akhirnya berinisiatif menelpon dan bertanya. Ternyata, apa yang terjadi? Salah satu temannya ternyata melakukan keisengan dengan menyebarkan berita itu. Tapi ternyata ada yang mentalnya “tukang pos” lantas menyebarkan informasi itu kemana-mana, tanpa dicek. Jadilah teman saya tersebut dikabarkan meninggal dunia!
Begitulah. Lain kali kita menerima berita yang tidak jelas ataupun terlalu bombastis, pikirkanlah dulu. Jangan langsung menganggap itu benar apalagi langsung meneruskannya. Jangan menjadi orang yang bermental tukang pos selanjutnya, tanpa mengerti keakuratan ataupun esensi dari berita yang Anda turut sebarkan!
Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, penulis, executive coach, hostradio di SmartFM.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |