Ketika Adam Neumann mendirikan WeWork, dunia bisnis seakan mendapat angin segar. Visi revolusioner tentang coworking space yang tersebar di 29 negara membuat perusahaan ini digadang-gadang menjadi salah satu inovasi terbaik abad ini. Tahun 2019, WeWork bahkan dinobatkan sebagai salah satu perusahaan paling inovatif. Namun, hanya empat tahun kemudian, semuanya berubah. Pada tahun 2023, WeWork mengajukan kebangkrutan.
Dalam banyak wawancara, Neumann menyalahkan pasar, media, dan investor yang disebutnya “tidak memahami bisnisnya.” Namun, bagi para analis, kegagalan itu justru berasal dari gaya hidup mewah Neumann, pengeluaran tak terkendali, dan keputusan strategis yang sembrono. Inilah salah satu contoh nyata dari fenomena Self-Serving Bias, sebuah kecenderungan psikologis untuk menghubungkan keberhasilan dengan kemampuan diri, tetapi menyalahkan faktor eksternal ketika kegagalan terjadi.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam bidang psikologi, istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Fritz Heider pada 1958. Self-Serving Bias adalah kecenderungan seseorang untuk mengaitkan kesuksesan dengan kehebatan dirinya—seperti bakat, usaha, atau kecanggihan strategi—tetapi menyalahkan situasi atau orang lain saat kegagalan terjadi.
Raditya Dika, seorang komika, pernah menyebut fenomena ini sebagai “penyakit semua salah kecuali gue.” Komentarnya yang sederhana ini menggambarkan betapa seringnya kita terjebak dalam bias ini. Namun, bias ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai belahan dunia dan lintas bidang, kita melihat Self-Serving Bias memengaruhi keputusan dan persepsi seseorang.
Kisah Adam Neumann bukan satu-satunya. Dunia olahraga juga dipenuhi contoh serupa. Serena Williams, dalam final US Open 2018, kalah setelah beberapa kali melakukan pelanggaran. Namun, alih-alih mengakui kesalahannya, Serena menyalahkan keputusan wasit. Begitu juga Conor McGregor, yang sering kali menyalahkan cedera atau keputusan wasit atas kekalahannya daripada mengakui kurangnya persiapan atau keunggulan lawan.
Di dunia bisnis, nama-nama besar seperti Elon Musk dan Travis Kalanick juga menunjukkan bias ini. Elon Musk, ketika Twitter (sekarang dikenal sebagai X) mengalami pertumbuhan pesat, mengaitkan kesuksesan itu dengan fitur dan kebijakan baru yang diperkenalkannya. Namun, saat platform tersebut kehilangan pengiklan dan pengguna, ia menyalahkan media dan pengkritiknya. Sementara itu, Travis Kalanick, pendiri Uber, menghubungkan pertumbuhan Uber dengan visinya. Tetapi ketika kritik mulai muncul tentang budaya kerja toxic di perusahaan itu, Kalanick malah menyalahkan media dan budaya eksternal, tanpa melihat perannya dalam membentuk budaya tersebut.
Dunia hiburan tidak kalah menarik. Kanye West, misalnya, sering memuji dirinya sendiri atas kesuksesannya, menyebutnya sebagai hasil dari bakat dan visinya. Namun, ketika mendapat kritik, dia cenderung menyalahkan media atau rekan kerjanya. Mariah Carey, setelah penampilannya yang buruk pada acara Tahun Baru, menyalahkan masalah teknis daripada mengakui kurangnya persiapan.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa membedakan Self-Serving Bias dengan kenyataan yang sebenarnya? Tidak semua kegagalan adalah hasil dari bias ini. Ada kalanya, memang benar faktor eksternal yang menjadi penyebab utama. Misalnya, cuaca ekstrem atau kebijakan tertentu yang tidak terduga. Bedanya adalah, orang yang terjebak dalam Self-Serving Bias cenderung selalu menyalahkan pihak luar, bahkan tanpa bukti yang kuat. Mereka tidak mau mengakui bahwa kesalahan bisa saja berasal dari diri mereka sendiri.
Untuk menghindari Self-Serving Bias, kita perlu belajar mengevaluasi bukti secara objektif, mempertimbangkan apakah ada kontribusi kesalahan dari pihak kita sendiri. Pola konsistensi juga penting untuk diamati. Apakah kita selalu menyalahkan orang lain saat terjadi sesuatu yang buruk? Refleksi adalah kunci untuk melatih diri agar lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan, sekaligus belajar dari kegagalan.
Self-Serving Bias bukan hanya masalah persepsi, tetapi juga hambatan besar bagi pertumbuhan diri. Bias ini membuat kita terjebak dalam ilusi kehebatan diri dan menolak kenyataan. Kegagalan pun akhirnya menjadi sia-sia, karena kita tidak mau belajar darinya.
Seperti yang pernah dikatakan seseorang, “Ketika aku berhasil, aku percaya pada bakatku. Ketika aku gagal, aku percaya pada nasib buruk.” Jika kita terus terjebak dalam pola pikir ini, mungkin kesuksesan akan menjadi sesuatu yang semu. Namun, jika kita mau melampaui bias ini, setiap kegagalan justru menjadi batu loncatan untuk meraih sesuatu yang lebih besar. Karena di balik setiap kegagalan, selalu ada pelajaran yang menunggu untuk ditemukan.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |