
Ada saat ketika pikiran terasa seperti benang kusut yang tak bisa diurai. Salah satu peserta saya pernah mengisahkan hal serupa. Ia tampak tenang dari luar, tapi di dalam kepalanya, badai tak pernah reda. Pikirannya sibuk bekerja, bahkan di tengah malam yang seharusnya sunyi.
Sebuah malam yang mengubah cara pandangnya dimulai pukul dua dini hari. Ia terbangun dengan pikiran penuh kecemasan tentang laporan yang akan diserahkan minggu depan. Ia merasa pasti ada kesalahan fatal. Dalam gelisah, ia mengambil kunci mobil dan meluncur ke kantor. Di ruangan yang hanya ditemani dengung AC, ia memeriksa dokumen itu berkali-kali. Hasilnya? Semuanya sempurna. Ia duduk termenung di kursinya sambil bertanya, “Kenapa aku di sini?”
Overthinking tak berhenti di situ. Setiap kali anaknya demam, ia membayangkan skenario terburuk: penyakit serius, reaksi alergi, atau hal-hal lain yang tidak pernah terjadi. Meski dokter sudah menenangkan bahwa semuanya baik-baik saja, pikirannya tetap melompat jauh ke depan, mencari-cari ancaman yang tidak ada.
Puncaknya terjadi ketika ia diminta menghadiri seminar di luar kota. Malam sebelum keberangkatan, pikirannya dipenuhi kemungkinan buruk: pesawat yang mungkin delay, anaknya sakit saat ia pergi, atau ia lupa membawa materi presentasi. Akibatnya, ia tak tidur semalaman. Keesokan paginya, ia bangun terlambat dan memutuskan untuk membatalkan perjalanan.
Namun, momen yang benar-benar menyadarkannya adalah ketika ia mendengar kabar bahwa atasannya akan diganti. Pikiran negatif kembali merajalela: akankah atasan baru menyukai caranya bekerja? Apakah ekspektasinya terlalu tinggi? Ketika hari pertemuan tiba, semua ketakutan itu buyar. Sang atasan baru justru ramah dan mendukung. Ia tertawa kecil mengingat betapa pikirannya telah menghabiskan begitu banyak energi untuk hal yang tak terjadi.
“Ada banyak waktu, peluang, dan energi yang hilang karena overthinking,” katanya. “Padahal, semua yang saya takutkan hampir tidak pernah nyata.”
Kisah ini mengingatkan kita bahwa pikiran sering kali menjadi musuh terbesar. Ia membangun tembok ilusi yang membuat langkah kita tertahan. Kita terpaku pada kekhawatiran yang belum tentu datang, kehilangan keberanian untuk menghadapi kenyataan.
Seperti yang ia katakan, “Tidak semua yang kita takutkan itu nyata.” Maka, mungkin saatnya kita berhenti melompat ke kesimpulan yang belum terjadi. Biarkan pikiran beristirahat, karena kehidupan sebenarnya berjalan di sini dan sekarang, bukan di bayangan yang diciptakan oleh rasa takut.
“Pikiran adalah alat yang luar biasa, tapi jika dibiarkan liar, ia bisa menjadi penjara.” — Lysa TerKeurst
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |