Pembicara menginspirasi, tapi seorang trainer menginspirasi. Ketika seorang trainer di depan pesertanya, harapannya dia bisa memberikan sesuatu yang bermakna, yang bisa dibawa pulang. Sayangnya, banyak trainer yang tidak memenuhi harapan itu. Akibatnya, berbagai komentar pun muncul.
“Ah, trainernya nggak asyik”
“Bosenin banget nih trainer. Kapan selesainya?”
“Yang diomongin itu-itu aja. Nggak ada yang baru”
“Dari tadi muter-muter ngomongnya, nggak jelas”
Ok. Untuk jelasnya mari kita lihat daftar 12 hal yang biasanya trainer lakulan, yang bisa mensabotase kesuksesannya. Apa saja?
1. Menerima kesediaan training buat yg bukan bidangnya
Nah ini bahaya. Masalahnya, seringkali terjadi seorang trainer menerima topik training yang bukan keahliannya. Kok berani? Bisa jadi karena kepepet. Biasanya trainer profesional, demi mengejar honor, akhirnya menerima topik yang bukan keahliannya. Kalau dia dengan cepat belajar dan bisa mengaitkan dengan pengalamannya sih nggak apa-apa. Masalahnya, ada beberapa trainer yang terlalu “memaksakan” topik yang memang ia tidak kuasai. Akibatnya? Ia tewas dengan sukses di depan panggung.
2. Tidak melakukan TNA
TNA adalah Training Need Analysis. Apa itu? Istilah umum di training. Yakni menggali informasi,mencari tahu latar belakang sebuah training. Apa yang terjadi ketika trainer tidak melakukan TNA? Ini ibarat maju ke medan pertempuran tanpa tahu siapa musuhnya. Kalau dia beruntung, maka dia bisa mengelak. Tapi, kalau sial,maka ia akan tertembak. Dalam hal ini, bisa jadi apa yang disampaikan jadi nggak pas. Misalkan, si trainer karena tidak melakukan TNA, tidak tahu apa isu yang sedang dihadapi pesertanya. Ia pun gelap soal siapakah latar belakang audiensnya. Akibatnya, rentetan materi yang disampaikan, bisa jadi meleset. Ujung-ujungnya, peserta pun tidak merasakan manfaat dari apa yang disampaikan.
3. Datang tanpa persiapan apapun
Bayangkan, orang maju ujian tanpa pesiapan? Bisa saja karena merasa sudah terbiasa mengerjakan soal itu, seseorang jadi sangat percaya diri. Namun, terlalu percaya diri pun bisa berbahaya. Karena anggap remeh dan mengentengkan, justru saat terjadi situasi yang diluar biasanya, malah jadi gelagapan. Itupun sama buat trainer. Semudah-mudahnya suatu acara training, tetap saja butuh persiapan, minimal persiapan mental. Ada kisah menarik soal Celine Dion yang harus berulang kali melatih vokal dan cek panggung. Salah satu crew yang kenal baik dengannya berkata “Bukannya kamu sudah menyanyikan lagu itu ratusan kali, kenapa harus persiapan yang begitu detil?”. Ia menjawab, “Lagunya memang sama, tapi pendengar dan suasananya berbeda. Mental saya butuh mempersiapkan itu”. Minimal, buat seorang trainer, kalau pun sudah sering membawakan materi, tetap penting untuk buka-buka dan mem”biasa”kan diri dengan materinya.
4. Mulai dengan energi yang low
Antusiasme itu menular. Ada prinsip sederhana. Kalau ingin peserta kita energinya 100% maka energi seorang trainer harus jauh diatasnya. Minimal harus 200%. Artinya apa? Artinya, jangan berharap peserta kita akan antusias kalau trainernya itu sendiri tidak antusias. Karena itu apa yang harus dilakukan si trainer? Sejak awal. Apalagi pas di bagian pembukaan, energinya akan sangat menentukan. Masalahnya, grafik energi pengajar itu menurun, jarang yang naik. Jadi, bisakah dibayangkan kalau energi awalnya saja sudah “low”, bagaimana jadinya berikutnya?
5. Materinya klise, sesuatu yang sudah umum
Sekarang ini era informasi. Orang bisa mendapatkan informasi dimanapun. Bayangkanlah saja jika seseorang mendengarkan trainer yang bicaranya generik, alias klise, alias “gue udah tahu”? Makanya, sangat penting bagi trainer untuk mengolah materinya. Bahkan materi yang sudah klise sekalipun, oleh trainer dibuat menjadi menarik dengan menambahkan pengalaman atau ide pribadinya. Dengan demikian, minimal ada sesuatu yang “fresh” yang bisa disampaikan oleh si trainer. Karena itu, sangat penting bagi si trainer untuk cari tahu apa saja yang kira-kira sudah diketahui oleh pesertanya, lantas ia berusaha untuk memberikan hal-hal yang baru.
6. Metodenya monoton
Saat ini adalah era dimana konsentrasi penonton semakin pendek durasinya. Trainer, balapan mencuri perhatian dengan tayangan Netflix, film dan youtube. Bayangkan aja, jika alur dalam suatu film itu monoton? Penonton langsung matikan atau pindah channel. Sama saja. Meskipun di kelas, peserta mungkin tidak bisa keluar ruangan, tapi bisa saja ia “pindah channel” alias mikirin yang lain, daripada dengerin trainernya. Karena itu, training mestinya variatif dan multi metode. Kalau tidak, peserta merasa buang-buang waktu mendengarkan kita. Atau, jangankan menginspirasi atau menginformasi, membuat mereka tertarik aja, nggak!
7. Sikap arogan
Trainer punya panggung di depan kelas, karna ia dianggap lebih tahu. Peserta pada dasarnya sudah maklum. Tapi, kadang ada trainer yang membuat pesertanya jadi “tertantang menguji” atau menolaknya lantaran sikapnya yang arogan. Sikap arogan itu bisa dengan terlalu melebih-lebihkan dirinya. Atau, bahkan sikap meremehkan pesertanya. Akibatnya peserta jadi merasa “eneg”. Dampaknya? Sikap peserta bermacam ragam. Ada yang jadi menyerang dengan pertanyaan. Ada yang jadi masa bodo. Ada yang pura-pura dengerin tapi dalam hatinya memaki. Akibatnya, meskipun materi si trainer itu bagus, namun karena sikapnya yang buruk malah membuatnya dibenci.
8. Tidak konek dengan peserta
Peserta adalah kumpulan group manusia. Mereka punya pemikiran dan punya hati. Dan karena yang diajar adalah manusia, koneksi itu perlu. Kadang, karena koneksi itulah yang membuat seseorang trainer didengarkan. Ini dapat disamakan dengan kenalan atau sahabat baik kita yang berbicara. Bisa saja apa yang disampaikannya membosankan. Tapi karena kita merasa punya “ikatan batin” dengannya, maka kita pun sudi mendengarkannya. Hal yang sama dengan trainer. Tidak ada yang lebih buruk daripada trainer yang bicaranya seperti robot dan tidak berusaha interaksi dengan pesertanya. Pesertapun jadi tidak punya ikatan batin apapun dengan trainernya. Ketika training selesai, peserta pulang dan segera melupakan si trainer dan mungkin juga materinya! Uhh!
9. Nggak Update ilmunya
Trainer harusnya update. Sebab untuk itulah, dia dibutuhkan untuk mengajarkan. Dua tanda kalau trainer kudet, alias kurang upate. Pertama, kalau trainer hanya mengajarkan hal-hal yang itu-itu saja. Kedua, info dan datanya sudah ketinggalan jaman. Tatlala trainer mengajar “yang itu-itu saja”, buat peserta yang mengulang lagi dengannya, segera akan “notice” kalau si trainer nggak pernah update ilmunya. Dan kalau ilmunya tidak lagi relevan, ia terancam mempermalukan dirinya sendiri. Apalagi, kalau ternyata di antara peserta ada yang lebih update ilmunya. Karena itulah, kalau sudah menyebut dirinya trainer, mau nggak mau dia harus update ilmu.
10. Teoritis dan nggak praktis
Teori tanpa aplikasinya, ibarat menulis di keyboard tanpa monitornya. Jadi, kita meraba-raba. Dan seperti itulah rasanya kalau trainer hanya mengajarkan hal-hal yang teoritis. Belum lagi, kalau ternyata apa yang diteorikan ternyata tak berlaku di lapangan. Apa yang dibayangkan, tak seperti itu wujudnya di lapangan. Bukankah kita sering mendengar sarjana yang berkata, “Setelah lulus, saya udah lupa dengan semua apa yang pernah saya pelajari”. Saya yakin, ilmunya tak pernah salah. Hanya saja, kurang diajarkan bagaimana ilmunya harus diterapkan. Begitu pula nasib trainer yang mengajarkan hal yang terlalu teoritis, ia akan dilupakan. Paling tidak, si trainer butuh untuk membantu “mencerna” teori tersebut dengan memberikan tips, strategi dan aplikasinya.
11. Penutupan yang lemah
“Everything well, when it ends well”, segalanya akan baik kalau berakhir baik. Pernahkah nonton kembang api? Apa yang membuatnya mengesankan? Pasti bagian akhirnya, yang biasanya paling meriah. Penontonpun pulang dengan kesan tak terlupakan. Begitupan training. Kalau saja pengajaran buruk di awal, metode membosankan. Trainer masih punya kesempatan, yakni di bagian penutupan. Inilah kesempatan terakhir bagi trainer untuk membuat pesertanya pulang dengan kesan positif. Namun, jika trainer justru menutupnya dengan lemah, kurang berkesan dan kurang meriah, peserta pun merasakan “perasaan yang tanggung”. Penilaian tentang trainer yang mengajar dengan bagus di awal-awal, bisa jadi “biasa-biasa” saja, kalau akhirnya datar monoton. Sebaliknya, trainer yang awalnya monoton tapi akhirannya bagus, energik dan menciptakan kesan positif dengan materinya, mungkin akan dinilai baik. Jadi, trainer perlu merencanakan penutupannya harus naik, serta menciptakan sesuatu kesan yang sangat baik.
12. Nggak fun
Sebenarnya soal fun itu relatif. Ini bukan stand up comedy yang saya maksudkan. Fun, juga berarti sikap ramah, menyenangkan. Termasuk bisa mengomentari celetukan peserta dengan santai, bahkan bisa bergurau dan membangun perasaan yang menyenangkan dengan pesertanya. Ada pepatah yang mengatakan, “Don’t try to be funny but try to be fun”.
So, begitulah.
Sebenarnya kita bisa memikirkan lagi bajwa ada banyak hal yang bisa dilakukan (ataupun yang justru tak dilakukan) oleh trainer, yang bisa membuat trainingnya jadi “garing”.
Dan yang menarik. Training itu sendiri bukanlah melulu science, tapi juga art (seni). Artinya, kadang butuh intuisinya trainer. Dengan jam terbang dan pengalaman, banyak kesalahan-kesalahan dalam training yang bisa dihindari. Tapi, mengapa harus membuat kesalahan, kalau ternyata kita bisa belajar dari kesalahan orang lain?
Salam Antusias!
IG @anthonydiomartin
Youtube: Anthony Dio Martin Official
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |