Belum lama ini ada sebuah kisah viral tentang kecerdasan emosional (EQ) yang menurut saya sangat inspiratif.
Biasanya, kita kenal guru yang hanya mengajarkan mata pelajaran kepada siswanya. Tapi kisah ini mengajarkan, justru sikap dan cara mendidik guru itulah yang pengaruhnya jauh lebih besar bagi perubahan siswa yang diajar! Inilah kisah inspiratif soal Seni Mendidik Siswa!
Kisahnya dimulai dari sekumpulan anak muda yang tampak menghadiri suatu resepsi pernikahan.
Lantas, salah seorang dari anak muda itu melihat guru SD yang amat dikenalinya.
Murid itu segera menyalami gurunya dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Lalu, ia berkata pada gurunya, “Pak, Bapak masih ingat dengan saya kan?”
Gurunya, dengan agak tersipu lalu menjawab: “Maaf, saya lupa!”
Lalu, dengan keheranan murid itu bertanya, “Masak sih pak guru tidak ingat saya? Saya kan… murid yang dulu pernah mencuri jam tangan salah seorang teman di kelas.”
Lalu si murid itu bercerita lagi.
“Dan ketika anak yang kehilangan jam itu menangis, Bapak menyuruh kami semua untuk berdiri karena akan dilakukan penggeledahan di saku para murid”
“Tahukah Bapak? Saat itu saya gemetar. Saya berpikir bahwa saya akan dipermalukan di hadapan para murid dan para guru. Dan saya akan menjadi tumpahan ejekan dan hinaan semua orang di sekolah. Mereka akan memberikan gelar kepadaku “pencuri” dan aku pasti akan hancur, selama-lamanya.”
“Jam tangannya ada di kantong celanaku dan aku mulai gelisah. Takut setengah mati”.
Tapi apa yang Bapak lakukan? Bapak menyuruh kami berdiri menghadap tembok dan menutup mata kami semua.
Lalu Bapak menggeledah kantong kami semua. Dan ketika tiba giliran saya, Bapak mengambil jam tangan itu dari kantong saya, dan Bapak lanjutkan penggeledahan sampai murid terakhir selesai.
Setelah selesai Bapak menyuruh kami membuka penutup mata, dan kembali ke tempat duduk.
Saat itu saya begitu takutnya Bapak akan mempermalukan saya di depan murid-murid lain, di depan teman-teman saya.
Lalu yang Bapak lakukan adalah menunjukkan jam tangan itu lalu Bapak berikan kepada pemiliknya, tanpa menyebutkan siapa yang mencurinya.
“Dan berikutnya, selama saya belajar di sekolah itu, Bapak tidak pernah bicara tentang kasus jam tangan itu lagi. Dan tidak ada seorangpun guru maupun murid yang bicara tentang pencurian jam tangan itu lagi”.
“Jadi, Bapak masih ingat kejadian itu, pak? Bagaimana bisa Bapak tidak mengingatku lagi?”
“Sayalah si muridmu itu. Dan ceritaku adalah cerita pedih yang tak akan pernah terlupakan!”
“Tetapi karena Bapak tidak mempermalukan saya. Saya pun jadi kagum sekaligus berjanji untuk bertobat. Sejak itu, saya berubah menjadi orang yang baik dan benar. Saya sungguh belajar dan mulai mencontoh semua kebaikan Bapak. Itu tak akan pernah saya lupakan”.
Lalu menariknya, si Bapak guru itu pun menjawab dengan tenang:
“Nak, sungguh Bapak tidak mengingatmu. Kamu tahu kenapa? Karena pada saat menggeledahan itu. Aku pun menutup mata pula agar tidak mengenalmu. Karena saya tidak mau merasa kecewa atas perbuatan salah satu muridku, saya sangat mencintai mereka. Dan saya tidak ingin merusak penilaianku tentang siswa siswiku”
Wow!
Sungguh kisah inspiratif dan luar biasa!
Biasanya tidak mudah bagi orang tua maupun pendidik, untuk memaafkan apalagi melupakan kesalahan.
Pendidikan kita pun dipenuhi dengan label dan cap-cap yang diberikan kepada siswa siswi. Ini “si pandai”, “ini si tukang onar”, “itu yang pernah mencuri!”. Apalagi, kalau si siswa atau siswi itu pernah berbuat kesalahan. Maka kesalahan itupun seolah-olah melekat dan diingat seumur hidup.
Namun, si Bapak guru ini mengajarkan satu pelajaran penting. Jika ingin mengembangkan orang dan membangun hubungan baik, yang harus diungat dan dikenang bukan kesalahan, kealpaan atau kelalaian, tapi hal-hal yang baik.
Jangan juga suka mempermalukan atau mengumbar kesalahan seseorang. Apalagi membuat seseorang menjadi malu di muka umum. Banyak orang yang berbuat salah, dan terus melakukan kesalahan karena merasa terlanjur sudah dicap salah. Tapi, justru dengan sikap baik dan positif, kadang seorang guru bisa membuat anak dan siswa didiknya berubah.
Wahai Para guru, belajarlah dari si guru yang bijaksana ini bahwa mengumbar kesalahan anak didik bukanlah tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang utama adalah membuat anak didik melihat hal yang positif pada dirinya, menghargai dirinya dan membuatnya lebih bangga untuk menjadi pribadi yang baik!
Itulah seni pengajaran dan pendidikan yang sesungguhnya. Makanya, seorang guru bukan hanya perlu pintar, cerdas IQ-nya tapi juga cerdas emosinya (EQ)nya.
Salam Antusias!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |