Istilah Revolusi Mental masih terus begulir. Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo juga meneken Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Selengkapnya bisa dibaca di link ini: Klik Disini
Tapi memang amat disayangkan, kalau setelah era pemerintahan Joko Widodo nantinya, berakhir juga Revolusi Mental yang amat dibutuhkan bangsa ini.
Soal Revolusi Mental, memang gampang diucapkan, namun tidaklah mudah untuk dipraktikkan.
Secara psikologis, manusia terkenal sangat resisten dengan yang namanya perubahan, apalagi perubahan yang drastis dan mendasar, ala “Revolusi”. Berbagai penelitian dan pengalaman kita menunjukkan, bahwa manusia umumnya mengatakan ingin berubah, tetapi dalam prakteknya kita seringkali menolak ataupun kalau kita menerimanya, seringkali dengan berat hati atupun setelah kita terima, beberapa saat kemudian, kita kembali lagi ke dulu.
Sebagai contoh tatkala Mahatma Gandhi memperjuangkan kemerdekaan bagi India. Banyak orang melihat betapa perjuangan Mahatma Gandhi begitu besar peranannya bagi kemerdekaan India. Namun, kita lupa, berapa banyakkah ia ditertawakan? Ia pun dicibir. Bahkan, ia pun dilenyapkan. Ada segelintir orang yang nyaman saat bersama Inggris yang mempertanyakan mengapa India perlu merdeka. Mereka bahkan tidak yakin India bisa mengurus dirinya sendiri. Ada pula yang menentang cara Gandhi yang anti kekerasan. Mereka menuduh dengan cara anti kekerasan itulah Gandhi telah membiarkan tentara Inggris menembak mati banyak pemrotes India. Mestinya, menurut mereka, kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Gandhi pun banyak pula pembencinya.
Bahkan, kita masih bisa membaca TULISAN TERLARANG pembunuhnya Gandhi yakni Nathuram Godse (yang kemudian dilarang di India) “Why I Killed Gandhi” (Mengapa Saya Membunuh Gandhi) yang menganggap Mahatma Gandhi sebagai guru yang pantas untuk dilenyapkan karena terlalu lemah dan tidak berpihak pada orang Hindu. Alasan si pembunuhnya bisa dibaca disini: Klik Disini
Sampai sekarangpun, apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang revolusioner dan hebat yang dikerjakan oleh Mahatma Gandhi, tetap saja ada yang menentangnya bahkan menghinanya. Begitulah, meskipun berjasa bagi kemerdekan India, ternyata ada saja yang menentang perubahan serta meremehkan perjuangan “Satyagraha” yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi. Itulah harga sebuah revolusi! Akan ada yang selalu enggan untuk menerimanya.
Kembali ke pengalaman kami menjadi trainer, konselor dan juga psikoterapis di HR Excellency hrexcellency.com, ada beberapa hal yang biasanya membuat orang susah banget untuk menerima sesuatu perubahan ataupun konsep yang baru. Dan beberapa hal inilah yang seringkali membuat orang sulit terima adanya suatu revolusi.
Pada prinsipnya, orang semacam ini merasa bahwa kondisi mereka baik-baik saja. Bahkan, mereka pun membandingkan dengan kondisi orang lain yang lebih buruk. Mereka pun seringkali memberikan alasan yang sangat kuat kenapa tidak perlu ada perubahan dan justru mereka melihat tidak perlu dilakukan perubahan, malahan mereka ini mengembangkan sikap dan rumor tidak menyenangkan terhadap mereka yang ingin menciptakan perubahan.
Dalam Radio Talk saya di Smartfm radiosmartfm.com serta rangkuman-rangkuman motivasi serta inspirasi terkait kecerdasan emosi (EQ) yang bisa didengarkan disini: soundcloud.com, saya mendengarkan berbagai keluhan. Ada yang bilang begini: “Pak Anthony Dio Martin, saya punya banyak keluhan soal pekerjaannya yang amat tidak menyenangkan! Juga lingkunganku amat kurang menyenangkan! Itu sudah saya rasakan sekitar 5 tahun lalu”. Tetapi yang menarik, sudah 5 tahun tapi orang ini tidak melakukan apapun. Nah, apa sebabnya? Bisa jadi, salah satunya adalah karena mereka terlalu takut untuk melakukan perubahan.
Orang ini masih lumayan. Mereka percaya perubahan perlu dilakukan. Tetapi, pada akhirnya orang ini merasa bingung. Mau berubah dari mana? Ujung-ujungnya orang inipun hanya menunggu dan berharap bisa terjadi keajaiban sehingga ada orang lain yang akan membantunya keluar dari kondisi yang tidak menyenangkan.
Orang ini sebenarnya lebih baik lagi kondisinya. Dia tahu perlu perubahan serta bagaimana perubahan itu harus dilakukan. Diapun tahu siapa yang harus diandalkan. Namun, masalahnya pun terjadi. Dalam hati kecilnya dia tidak percaya bahwa perubahan itu bisa dilakukan. Ujung-ujungnya, dia pun ikut-ikutan. Kalau ada yang bisa menuntun ke arah perubahan ya syukur, tapi kalau pun tidak ya nggak apa-apa (kan dalam hatinya dia udah nggak yakin kalau bisa dilakukan perubahan).
Mari kita lanjutkan obrolan soal resistensi terhadap revolusi mental dari sisi lain. Dilihat dari tinjauan ilmu psikologi dan Kecerdasan Emosi (EQ) saja, ungkapan ‘revolusi’ itu sebenarnya menakutkan. Secara maknanya, revolusi kan seringkali diartikan sebagai “perubahan secara cepat”. Dan bayangkanlah perubahan itu berarti keluar dan berhenti dari sesuatu yang lama (yang notabene, SANGAT MENYENANGKAN), ke situasi atau kondisi yang baru (yang notabebe, BELUM TENTU MENYENANGKAN). Jadi dengan pemikiran ini sendiri, kita bisa paham mengapa revolusi itu cenderung tidak diminati. Masalahnya, orang harus keluar dari yang pasti-pasti menuju ke sesuatu yang tidak pasti.
Belum lagi, soal kenyataan bahwa selama ini konotasi revolusi, itu selalu bermakna negatif buat kehidupan bangsa kita. Revolusi yang pertama kali banyak dicetuskan oleh Presiden Soekarno, dianggap banyak memakan korban. Bahkan kita masih ingat ungkapan dari Presiden Soekarno soal revolusi yang sempat membuat bulu kuduk berdiri, “Dalam revolusi, bapak makan anak adalah sesuatu yang lumrah”. Baca linknya disini: Klik Disini Orang yang tidak paham konteksnya pasti akan segera berpikir betapa mengerikannya revolusi itu. Begitu pula kita pun mengenal Pahlawan Revolusi yang meninggal dengan cara mengenaskan. Meskipun belakangan, banyak terungkap kematian mereka banyak yang dibesar-besarkan. Akan tetapi, istilah Revolusi tetap saja meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan. Kesan adanya pihak yang harus dikorbankan, bahkan korban dengan sia-sia. Makanya, tidaklah mengherankan jika kita bicara soal “Revolusi”, ada bawah sadar kita yang seakan-akan menolaknya.
Jadi sebagai kesimpulan inspirasi kita kali ini, untuk bisa membuat suatu perubahan sukses dan berhasil, itulah ke 4 hal penting yang perlu diwaspadai. Seringkali masalahnya bukan karena faktor intelektual (IQ) yang membuat orang tidak mau berubah. Faktanya, justru banyak yang tahu, tapi masalahnya faktor emosi (seperti takut, cemas, khawatir) itulah yang tidak mendukung perubahan.
Apakah Anda sedang mengalami perubahan besar dalam hidup dan lingungan kerjamu? Silakan baca juga sharing saya di tulisan ini: Klik Disini
Anthony Dio Martin “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, ahli psikologi, speaker, penulis buku-buku best seller, host program Smart Emotion di radio SmartFM Jakarta dan host di TV Excellent, kolomnis rubrik Spirit di harian Bisnis Indonesia. Twitter: @anthony_dmartin dan fanpage: facebook.com, website: hrexcellency.com.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |