
Di sebuah perempatan kota yang sibuk, lampu merah menyala terang. Tapi satu motor menerobos, lalu disusul dua, tiga, dan akhirnya seperti air bah, kendaraan lain pun ikut. Di sisi jalan, seorang polisi berdiri. Tapi hanya diam, pura-pura tak melihat. Di kampung yang lain, seorang warga baru saja menerima surat tagihan pajak. Ia mengelus dada dan bergumam lirih, “Bayar buat apa? Ujung-ujungnya malah dipakai plesiran pejabat.” Ia menandatangani surat itu, tapi lalu mengoyaknya.
Perilaku tak patuh ini bukan muncul dalam ruang hampa. Ini bukan sekadar soal aturan atau sanksi. Tapi lahir dari rasa muak. Dari luka yang terus digarami. Dari keteladanan yang makin langka di negeri ini.
Mari kita cermati realita yang terjadi. Tingkat kepatuhan membayar pajak di Indonesia stagnan di angka sekitar 63%. Itu artinya, hampir 4 dari 10 orang enggan menyetorkan kewajiban mereka. Mengapa?
Karena kepercayaan itu runtuh. Karena mereka tidak melihat uang pajak kembali dalam bentuk fasilitas publik yang layak. Sebaliknya, yang mereka saksikan adalah berita korupsi tak habis-habis, pesta pora pejabat, pengadaan barang absurd, hingga renovasi kantor yang angkanya bikin kening berkerut.
Dalam sebuah studi lapangan yang pernah kami lakukan di Jawa Tengah, respons masyarakat sederhana namun menyentak. “Kalau pejabatnya aja bisa main mata, masa kami rakyat kecil harus selalu lurus-lurus?” Kalimat ini bukan sekadar pembelaan. Ia adalah potret bagaimana keteladanan yang rusak dari atas, akhirnya memantul ke bawah dan menjalar menjadi norma baru.
Teori Medan dari Kurt Lewin bicara banyak tentang ini. Bahwa perilaku manusia tak pernah terlepas dari pengaruh lingkungan psikologisnya. Ketika seseorang hidup dalam sistem yang rusak, maka perilaku menyimpang menjadi adaptasi yang dianggap wajar. Lingkungan itu membentuk persepsi. Dan persepsi itu memengaruhi tindakan.
Albert Bandura, dalam teori modeling-nya, menjelaskan bahwa manusia belajar bukan hanya dari buku atau ceramah. Tapi dari meniru. Dari melihat. Dari menyerap pola-pola di sekitarnya. Maka bayangkan generasi muda kita, yang saban hari dijejali berita pemimpin yang pamer kekuasaan, yang mengancam dengan senjata saat ditegur, yang marah ketika dikritik, tapi menuntut hormat dari publik. Apa yang mereka pelajari? Bahwa kekuasaan itu alat untuk menindas. Bahwa hukum bisa ditekuk-tekuk sesuai kepentingan.
Tak mengherankan jika kita lihat fenomena di lapisan bawah: siswa yang membully temannya, warga yang main hakim sendiri, orang tua yang berani menyogok demi lulus sekolah anaknya. Semua itu bukan muncul tiba-tiba. Semua itu adalah hasil dari proses modeling yang terus-menerus, dari atas ke bawah.
Organisasi pun bekerja dengan prinsip yang sama. Dalam dunia manajemen, dikenal istilah “tone from the top”. Budaya perusahaan, etika, semangat kerja, semua akan mencerminkan bagaimana pemimpinnya bertindak. Pemimpin yang transparan dan jujur akan menciptakan tim yang solid dan terbuka. Tapi pemimpin yang culas, akan menghasilkan struktur yang retak dan penuh siasat.
Itulah sebabnya, jika hari ini kita menyaksikan masyarakat yang makin sulit diatur, yang makin nekat melanggar, jangan buru-buru menunjuk jari ke bawah. Lihat dulu ke atas. Periksa para penguasa, para pejabat, para tokoh yang semestinya menjadi panutan. Sebab di sanalah sumber gelombang dimulai. Dan bila sumbernya keruh, air yang mengalir pun akan membawa lumpur.
Masyarakat yang tidak patuh bisa jadi adalah bentuk perlawanan yang pasif-agresif. Sebuah ekspresi dari rasa frustrasi dan kehilangan harapan. Mereka tidak bicara, tapi mereka menunjukkan. Mereka tidak berdemo, tapi mereka membalas lewat tindakan sehari-hari yang menyiratkan: “Kami tidak lagi percaya pada yang memerintah kami.”
Akhirnya, saya teringat kisah kecil masa kecil saya di desa. Ada satu sumber air di bukit yang selalu jernih. Setiap kali kami bermain di sungai, kami tahu. Kalau airnya tiba-tiba keruh, itu berarti ada yang mencemari di atas. Entah tumpahan lumpur, entah karena ada yang menggali saluran. Tapi kami tahu, masalah di hulu akan sampai ke hilir.
Begitu pula dengan keteladanan. Ia seperti air. Mengalir dari atas ke bawah. Bila pemimpin bersih, jujur, dan adil, maka ia menyegarkan rakyatnya. Tapi bila pemimpin kotor, maka rakyat hanya bisa meneguk air yang penuh lumpur dan lambat laun, mereka pun jadi terbiasa hidup dalam kekeruhan itu.
Jadi, jika kita ingin bangsa ini taat, patuh, dan beretika, jangan hanya sibuk memperbaiki yang di bawah. Mulailah dari atas. Karena keteladanan itu ditiru. Bukan disuruh.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |