
Ada sebuah kisah inpiratif terkait Kecerdasan Emosional yang saya sukai. Dikisahkan, pada suku Indian kuno, ada seorang anak muda yang sangat berangasan, emosional dan suka berantem. Sulit baginya untuk kendalikan emosi sehingga ia banyak berakhir dengan ribut-ribut dengan orang di kampungnya. Akibatnya, ia pun jadi tidak disukai. Makin lama, ia makin tersiksa karena ia melihat orang-orang pun mulai menjauhinya. Lantas, suatu hari ia bertandang ke rumah seorang kakek tua yang terkenal bijaksana.
Dengan si kakek itu, ia pun bertanya, “Kakek. Bagaimanakah saya kendalikan amarah yang ada di dalam diri saya?” Si kakek, malah bercerita, “Nak. Ketahuilah. Kita, bangsa Indian percaya bahwa dalam diri kita, terdapatlah dua ekor srigala. Satu srigala putih, itulah serigala yang baik. Selanjutnya, ada srigala yang kedua yakni yang berwarna hitam. Itulah srigala yang penuh dengan dendam, amarah dan kebencian. Nah, anakku. Setiap hari kedua ekor srigala ini selalu berantem di dalam diri kita”. Lalu, dengan penuh minat si anak muda ini bertanya, “Lantas, kalau mereka berantem siapakah yang menang, kakek?” Lalu, dengan tenang si kakek berkata, “Srigala yang menang adalah srigala yang engkau beri makan!”.
Kisah menarik di atas, saya kutip dari kisah yang dimuat di buku Kecerdasan Emosional saya, Emotional Quality Management, menyambut bulan Mei dimana dalam bulan ini kita merayakan Hari Pendidikan Nasional dan juga hari Kebangkitan Nasional. Bagi saya, bulan ini juga menandai bulan Kecerdasan Emosional. Sebab, di bulan inilah, lembaga kami bekerjasama dengan beberapa lembaga pemerintah, perusahaan maupun lembaga non-profit, mengadakan berbagai acara bertema “EQ for Nation”. Banyak orangpun bertanya, mengapa Kecerdasan Emosional? Alasannya sebenarnya sederhana, karena dalam kondisi bangsa kita sekarang, rasanya kita perlu lebih belajar lebih dewasa untuk menyelesaikan masalah bukan dengan emosi dan adu otot. Tapi menjadi bangsa yang lebih pe-de, yang lebih bangga dengan dirinya. Serta, pada gilirannya lebih mau mendidik generasi kita berlatih melewati kesulitan dan tantangan, daripada sekedar memberikan jalan pintas. Pendidikan Nasional, bukan sekedar pendidikan akademik tetapi juga karakter. Itulah sebabnya, supaya kita tidak menjadi bangsa yang memberi ‘makan srigala hitam’ setiap hari, kita memerlukan Kecerdasan Emosional.
Pembaca, refleksikan cara bangsa kita menyelesaikan masalah. Kebanyakan masyarakat kita, tatkala merasa tidak suka dan tidak senang dengan apa yang diterima, mulai cenderung bersikap anarkis. Bahkan, dari level pelajar pun, tatkala tidak naik kelas, yang diserang dan dirusak adalah sekolah dan gurunya. Bahkan hingga di lembaga tinggi pun, terkadang kita melihat cara-cara yang tidak elok dalam menyelesaikan persengketaan. Seringkali, kita melihat ketidaksepahaman diselesaikan dengan adu mulut, bahkan adu jotos yang tidak bermutu. Dan parahnya, tatkala lembaga ataupun organisasi tinggi dikritik, responnya pun menjadi sangat defensif dan berbalik dengan ancaman. Dalam bahasa Kecerdasan Emosi, hal ini menandakan ketidakmatangan emosional.
Dan kalau kita mengacu kepada konsep Kecerdasan Emosional, kita sebenarnya merasakan bahwa tingkat HALT yang memicu keberangasan emosi yang dimiliki oleh bangsa kita juga meningkat. Apakah HALT itu? HALT adalah singkatan dari Hungry – Angry – Lonely serta Tired. Hungry (Lapar) melambangkan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi senantiasa terkait dengan level ekspresi emosi seseorang. Ya, tentu saja, dan kitapun maklum! Masalahnya, tatkala perut seseorang mulai lapar ataupun merasa iri dengan kesenjangan ekonomi yang begitu tingginya. Dalam situasi fisik yang demikian, akhirnya emosipun menggantikan nalar. Berikutnya, angry (kemarahan) masyarakat kita pun demikian. Makin lama, kita mencatat makin banyak hal yang membuat kita makin tidak puas, mulai dari ketidakadilan yang kita saksikan, ketidakbecusan hukum ataupun kualitas layanan masyarakat yang rendah, semuanya menambah pula level kemarahan masyarakat. Tak mengherankan, jika kita lihat banyak yang cenderung bermain hakim sendiri. Lantas, juga pada level Loneliness (Kesepian). Kitapun melihat dengan makin berkembangnya teknologi, maka yang terjadi adalah sebuah ironi. Seorang rekan saya berkata, “Teknologi, membuat yang jauh menjadi dekat, tetapi membuat yang dekat menjadi jauh”. Seringkali kita menyaksikan dalam sebuah keluarga dimana semua anggota keluarga duduk di satu meja makan, tetapi sambil menunggu makanan, yang terjadi bukannya komunikasi tetapi semua jari-jemarinya ada di depan HP mereka masing-masing, sibuk mengetik dan sibuk berkomunikasi dengan orang lain. Itulah level keterasingan yang membuat hubungan emosional kita pun terasa semakin jauh. Dan akhirnya, juga level Tired (keletihan). Umumnya, paling tragisnya adalah kita melihat banyaknya orang yang merasa tidak berdaya, kesel dan jengkel dengan apa yang mereka alami tetapi tidak tahu harus melampiaskan kepada siapa. Lebih buruknya, banyak sikap ketidaksukaan dan ketidaksenangan kemudian dilampiaskan dengan orang-orang yang dikenal, ataupun dengan merusak benda-benda disekitarnya.
Motivasi kita kali ini adalah urgensi untuk melatih ulang dua komponen penting dalam Kecerdasan Emosional. Pertama soal INTRAPERSONAL bangsa. Lantas, kedua adalah soal INTERPERSONAL bangsa. Bicara INTRAPERSONAL adalah menyangkut kemampuan untuk menyadari dan mengelola diri sendiri. Sementara, bicara soal INTERPERSONAL adalah bicara soal menyadari dan berinterkasi secara dengan positif dengan orang lain, termasuk dengan orang yang beda ide dan pendapat.
Sejak pendidikan keluarga hingga di sekolah, pendidikan untuk melatih kesadaran diri (intrapersonal) sebenarnya sudah mesti ditanamkan. Menurut konsep Kecerdasan Emosional, ada 4 gaya pendidik (orang tua ataupun guru) dalam menghadapi anak dan siswa mereka. Ada pendidik atau orang tua yang selalu melarang, ada yang justru selalu mengabaikan tetapi ada juga yang justru sebaliknya, terlalu membiarkan! Ketiga-tiganya, kelak akan melahirkan generasi yang punya masalah dengan emosinya. Makanya, tips terbaik adalah pendidik tipe keempat yakni yang menjadi mampu menjadi ‘EQ coach’ (pelatih EQ). Disini, peran orang tua dan pendidik bukan sekedar membuat anak pintar di sekolah secara akademik, tetapi melatih kematangan mereka melalui pengalaman sehari-hari. Pendidik ditantang meluangkan waktu, mendengarkan (LISTEN), lantas memberitahukan, mengajak belajar bahkan memberikan support (LABEL) hingga bisa bersikap tegas jika ada hal yang keliru (LIMIT). Jadi, prinsip 3L: Listen-Label-Limit adalah kunci penting pembinaan ala EQ. Di sisi lain, adalah penting juga, anak kemudian dilatih membangun hubungan interpersonal yang sehat dengan belajar melewati konflik yang sehati bahkan hingga belajar untuk kalah, sebagai bagian dari pembelajaran ketahanan emosi.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |