Kita sering terpaku pada kisah sukses, melihat senyum yang selalu terpampang, mengira bahwa kebahagiaan adalah syarat utama keberhasilan. Jim Carrey, sang komedian legendaris, adalah salah satu contoh nyata bagaimana tekanan untuk terus tampak ceria bisa menjadi beban. Meski selalu membuat penonton tertawa, di balik layar Carrey berjuang melawan depresi yang menyelubunginya. Bagi dunia, ia adalah simbol kebahagiaan; namun baginya, tekanan untuk terus “baik-baik saja” hanya membuatnya semakin terisolasi.
Michael Phelps, perenang dan peraih medali Olimpiade terbanyak, juga menghadapi beban ini. Sebagai seorang atlet yang dikelilingi oleh tuntutan untuk selalu kuat dan positif, Phelps pernah terjebak dalam rasa kesepian, merasa bahwa menunjukkan kerentanan adalah tanda kelemahan. Hingga akhirnya, ia menyadari bahwa untuk menjadi benar-benar tangguh, ia harus menerima semua sisi dirinya, termasuk kelemahannya. Pengalaman mereka membuka mata kita bahwa di balik ketenaran dan keberhasilan, ada perjuangan untuk menerima diri sendiri yang sesungguhnya.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah gagasan bahwa kebahagiaan dan pemikiran positif harus menjadi reaksi utama dalam setiap situasi. Kalimat seperti “Tetap semangat!” atau “Jangan pikirkan yang buruk, semua pasti baik-baik saja” sering kali terdengar sebagai dukungan, tapi pada saat yang sama bisa menjadi tekanan yang membuat seseorang merasa bersalah atas emosi negatifnya.
Dalam drama Korea It’s Okay to Not Be Okay, Moon Gang-tae adalah perawat yang merawat kakaknya yang mengidap autisme, sementara ia sendiri menyembunyikan perasaan takut dan kesepian. Gang-tae terus menekan emosinya, merasa harus selalu kuat. Di sisi lain, Ko Mun-yeong, seorang penulis buku anak-anak yang terkesan angkuh dan dingin, memiliki trauma masa lalu yang membuatnya kesulitan mempercayai orang lain. Drama ini menggambarkan bahwa emosi negatif yang ditekan hanya akan membuat luka semakin dalam dan sulit untuk pulih.
So, Mengapa Toxic Positivity Bisa Berbahaya?
1. Mengabaikan Masalah Serius
Dalam beberapa kasus, toxic positivity bisa membuat seseorang mengabaikan masalah serius, seperti kondisi kesehatan mental atau fisik. Mengandalkan afirmasi positif semata tanpa memperhatikan kesehatan dapat mengabaikan kebutuhan untuk mendapatkan bantuan profesional. Misalnya, ada orang yang menolak pengobatan karena terlalu percaya pada kekuatan afirmasi, meskipun sebenarnya membutuhkan perawatan medis.
2. Menimbulkan Rasa Bersalah
Saat seseorang merasa bersalah karena tidak bisa merasa bahagia atau bersyukur, toxic positivity bisa membuat mereka semakin terjebak dalam perasaan negatif. Mereka mungkin merasa ada yang salah dengan dirinya karena “tidak cukup positif” dan menjadi beban untuk diri sendiri.
3. Membuat Perasaan Menjadi Invalid
Dengan terus memaksakan positifitas, kita bisa meremehkan atau mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya penting untuk diproses. Emosi seperti sedih, marah, atau kecewa justru menjadi bagian dari perjalanan emosional yang normal dan sehat. Saat kita menekan emosi ini, kita kehilangan kesempatan untuk belajar dari rasa sakit dan menemukan pemahaman baru.
1. Belajarlah untuk Melakukan Validasi Emosi
Memberikan ruang pada diri sendiri dan orang lain untuk merasakan seluruh spektrum emosi. Jika teman sedang sedih, berikan kesempatan untuk curhat tanpa harus memberi solusi atau motivasi. Kadang, kata “Aku di sini buat kamu” jauh lebih bermakna dibandingkan dengan kata-kata positif yang justru mengesampingkan perasaan mereka.
2. Jangan Memaksa Diri untuk Selalu Positif
Terimalah bahwa tidak setiap hari akan menjadi hari yang cerah. Ketika merasa kecewa atau marah, biarkan diri Anda untuk merasakannya. Mengakui perasaan negatif tidak membuat Anda lemah, tetapi justru menguatkan Anda untuk lebih memahami diri sendiri.
3. Bicaralah dengan Orang yang Bisa Mendengarkan dengan Empati
Carilah teman atau mentor yang bisa mendengarkan Anda tanpa menghakimi. Berbicara dengan orang yang tepat membantu melepaskan beban tanpa merasa harus memaksakan diri untuk merasa “baik-baik saja.”
4. Sadari Bahwa Semua Emosi Itu Valid
Anggaplah setiap emosi sebagai bagian dari keberadaan Anda. Jangan hanya merayakan kebahagiaan, rayakan juga kesedihan sebagai bukti bahwa Anda manusia yang berjiwa. Kesedihan atau kekecewaan adalah emosi yang alami dan membantu kita berkembang.
5. Hargai Perjalanan Emosional Anda
Jangan menekan emosi untuk mencapai kebahagiaan. Alih-alih, nikmati proses dari setiap perasaan yang datang. Dengan memahami dan menerima emosi apa adanya, kita bisa menemukan kebahagiaan yang lebih sejati.
Pada akhirnya, It’s Okay to Not Be Okay mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukan datang dari menghindari kesedihan, melainkan dari merangkul semua perasaan yang hadir. Jim Carrey pernah berkata, “Terkadang, yang kita butuhkan bukanlah selalu tersenyum, melainkan untuk jujur kepada diri sendiri bahwa kita manusia yang kadang lelah.” Jadi, ketika dunia menuntut “good vibes only,” izinkan diri Anda untuk tidak selalu baik-baik saja, dan ketahuilah bahwa itulah tanda Anda benar-benar hidup.
Salam Antusias!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |