Kali ini saya ingin bicara suatu istilah yang sangat terkenal di bidang psikologi populer yakni Sindrom Peter Pan. Yang jelas, istilah ini bukan muncul lantaran terkait dengan isu skandal heboh penyanyi kita yang punya grup musik yang namanya mirip. Tetapi sepenuhnya ini bicara soal suatu ciri khas kepribadian seseorang yang tidak wajar. Dan untuk memahami istilah inipun, Anda perlu tahu tentang dongeng anak-anak Peter Pan yang terkenal. Dalam kisah itu diceritakan soal Peter Pan, seorang anak kecil yang bisa terbang. Mereka tinggal di tempat bernama Neverland dimana seorang anak kecil tidak akan pernah menjadi tua. Kesanalah Peter pan membawa Wendy dan saudara-saudaranya mengalami banyak petualangan yang seru. Itulah kisah Peter Pan yang selain masuk ke dalam buku, juga dibuat ke layar lebar.
Lantas, apakah hubungannya antara Peter Pan Syndrome ini dengan pengembangan diri kita? Nah, justru itulah pada kesempatan ini, saya ingin membicarakan Peter Pan Syndrome ini. Meskipun, istilah ini sendiri tidak pernah diakui secara resmi dalam pendidikan psikologi yang formal, tetapi istilah ini sering digunakan. Secara umum istilah ini diartikan untuk menjelaskan mengenai seseorang yang tidak pernah menjadi dewasa, atau dengan kata lain kekanak-kanakan.
Mari kita ambil contohnya saja. Honggo, misalnya. Dia adalah seorang laki-laki kaya, cukup ganteng dan sempat berpacaran dengan banyak wanita. Tetapi, berpacarannya tidak pernah lama, dan juga tidak pernah ada ujung-ujungnya. Pada bagian terakhir dimana Honggo diminta untuk membuat komitmen pernikahan, ia selalu mundur teratur. Honggo pun tidak pernah bisa mengambil tanggung jawab dalam hidupnya. Bahkan, hidupnya boleh dikatakan segala-galanya diatur dan disiapkan oleh kedua orang tuanya. Ketika sampai pada situasi dimana Honggo harus megambil keputusan, membuat komitmen, ia selalu menghindari situasi tersebut. Itulah kisah si Honggo.
Kisah lain terjadi pada Dana. Dana adalah seorang karyawati yang sangat sensitif sekaligus rapuh. Mood kerjanya kadang bisa melonjak naik dan turun. Kalau dia lagi senang, seluruh dunia seakan-akan jadi bersinar. Tetapi tatkala ia dimarahi ataupun ada masalah, ia bisa cemberut seharian seperti anak kecil. Pernah sekali ia membuat kesalahan yang fatal. Akibatnya, ia pun dimarahi oleh managernya. Bukannya merasa bersalah atas kesalahannya itu, ia pun jadi memusuhi si managernya. Managernya pun dicuekin. Teman-temannya pun tiap hari harus mendengar soal keluhannya tentang managernya dan semua keluhan lainnya. Kalau lagi bete, ia seringkali curhat kepada orang tuanya di rumah dan bisa berjam-jam.
Itulah kisah tentang dua manusia yang selalu kekanak-kanakan dan tidak pernah dewasa. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah Peter Pan Syndrome.
Yang jelas Peter Pan Syndrome ini banyak terkait dengan bagaimana seorang dibesarkan dan dididik sejak kecilnya. Biasanya, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama anak dididik dengan sangat otoriter sehingga anak menajdi penakut dan tidak berani mengambil keputusan dan risiko apapun. Hingga ia dewasa pun, anak ini tidak pernah berani karena orang tuanya selalu mencela dan mengkritik ataupun memarahi ketika si anak ini mencoba melakukan sesuatu. Akibatnya, ketika dewasa, anak itupun tetap tidak punya nyali untuk melakukan apapun.
Bisa juga, anak ini dibesarkan di dalam lingkungan yang sangat protektif. Disini, si anak selalu dilindungi dan dijaga dari kondisi luar yang tidak nyaman. Saat masih balita, hal ini mungkin sah-sah saja dilakukan oleh orang tua. Tetapi celakanya, sikap protktif dari orang tua ini terus berlanjut hingga anak itu menjadi dewasa. Akibatnya, si anak itupun menjadi terus-menerus merasa perlu dilindungi. Dan tatkala si anak merasa berada dalam situasi ataupun kondisi yang dirasakan tidak nyaman, maka dia pun dengan segera akan kembali kepada orang tuanya. Misalkan saja, seorang peserta pelatihan saya menceritakan tentang istrinya yang berasal dari latar belakang keluarga kaya. Masalahnya, setiap kali ada konflik yang seharusnya diselesaikan antara suami istri, justru yang dilakukan oleh istrinya adalah ngambek dan kembali ke rumah orang tuanya. Dan ia sendiri merasa bahwa campur tangan mertuanya dalam perkawinan mereka, sangat berlebihan sekali.
Bagaimanakah sikap terbaik kita menghadapi manusia dengan Peter Pan Syndrome ini? Pertama-tama kita tidak boleh melabel lantas berpikir bahwa selamanya orang-orang yang demikian tidak akan pernah berubah lagi. Kenyataannya, kadang si Peter Pan Syndrome ini pun sebenarnya ingin mandiri, ingin terlepas dari ketergantungan pada keluarganya serta ingin mengambil risiko. Masalah utamanya, mereka tidak pernah dilatih dan mereka tidak terbiasa. Akibatnya, pada saat menghadapi kesulitan dan masalah, mereka sangat cepat membutuhkan perlindungan.
Memarahi, menyalahkan, membentak-bentak para Peter Pan Syndrome ini juga bukan solusi yang baik. Masalahnya, mereka bukan perlu dimarahi ataupun dibentak tetapi dituntun untuk berani mengambil risiko dan mulai melangkah. Kadang disinilah letak masalahnya. Mereka-mereka kadang tidak mempunyai siapapun yang bisa menuntun mereka melangkah. Kalau pun ada orang lain, orang lain yang mereka kenal adalah mereka yang justru mengambl alih tanggung jawab buat mereka. Akibatnya, otot menghadapi kesulitan mereka tidak pernah terlatih dikembangkan.
Kadang proses step by step, dibutuhkan bagi orang-orang ini untuk berani melangkah. Dan setelah mereka melihat bahwa risiko ataupun masalahnya tidaklah sehebat yang mereka takutkan, maka rasa percaya diri mereka akan semakin besar untuk melangkah. Hal ini misalkan terjadi pada seorang klien saya yang tidak pernah berani untuk membawa hubungan dengan pacarnya ke perkawinan. Namun, akhirnya setelah konseling dan diubah pola pikirnya, ia pun berani membuat komitmen perkawinan. Toh, akhirnya ia merasa bahagia dengan keputusannya tersebut. Dan setelah diselidiki, ternyata sejak kecil ia telah ditakut-takuti oleh ibunya bahwa perkawinan akan menyengsarakan hidup dan merepotkan. Itulah yang telah tertanam ke dalam dirinya selama ini.
Di tempat kerja, Peter Pan Syndrom memang agak menyusahkan karena ia membutuhkan orang lain yang selalu bisa ‘menepuk-nepuk’ dirinya terus-menerus. Akibatnya, ia jadi menghabiskan banyak energi orang-orang di sekitarnya. Sesekali dua kali,mungkin bagus buat kita untuk membangun hubungan emosional yang baik dengannya. Tetapi, jika keterusan, maka sebenarnya ini tidak akan baik baginya. Karena itulah, terkadang kita pun harus berani ‘tega dan tegas’. Meskipun tidak harus disikapi dengan galak dan marah-marah (dan sebaiknya ini dihindari dengan tipe semacam ini!) mulailah dengan ramah padanya, sehingga terbangun tabungan emosi yang positif. Selanjutnya, dengan hubungan yang positif itu, sebenarnya kita bisa mengarahkan orang tersebut untuk mengambil tanggung jawab, berani ambil risiko dan tidak mudah cengeng saat menghadapi kendala ataupun tantangan kegagalan. Inilah yang mesti dengan tekun kita latih pada manusia-manusia penderita Peter Pan Syndrom ini. Dan sekali lagi, janganlah kita anggap manusia-manusia penderita Peter Pan Syndrome ini sebagai orang sulit. Ingatlah, saya selalu bilang, “Tidak ada orang sulit, yang ada adalah orang yang belum kita pahami.”
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |