Ketika John mendapatkan tawaran ikut dalam program persiapan mengikuti Olimpiade Fisika, ia menolak. Ibu dan gurunya berusaha meyakinkannya. Dalam hatinya, ia ingin mewakili Indonesia. Tapi, ia juga ingat pengalaman gagalnya dan ia dikata-katai dengan kalimat meyakitkan oleh ayahnya. Ia pun menolak ikut persiapan fisika dan memilih main basket saja. Ada kata-kata ayahnya yang sulit ia hapuskan, “Kamu nggak akan becus untuk apapun!”
Begitupun, saat ajang pemilihan untuk penghargaan perusahaan start up terbaik, Anisa memberi alasan sakit. Sebenarnya, ia terlalu kuatir. Kuatir kelihatan bodoh karena tidak bisa presentasi. Ia selalu terngiang-ngiang ejekan temannya saat ia tidak hafal Pancasila waktu upacara. Dan hal itu menghantuinya setiap kali harus bicara di depan umum. Ia selalu berkata, “Baca Pancasila aja nggak bisa, apalagi bicara di depan umum”
Begitu juga saat Tika mau tes terakhir kerja. Ia memilih sebuah perusahaan audit kecil dengan gaji rendah. Sebenarnya ia bisa diterima sebuah perusahaan audit besar. Tapi ia terlalu ketakutan. Takut ditolak. Takut tidak diterima. Ia sebenarnya sudah siapkan kata-kata untuk jawaban interviewnya. Lalu, ia merobek dan membuangnya ke tong sampah. “Saya nggak mungkin diterima!“.
Berbagai kisah ini mungkin ada yang familiar buat Anda. Mungkin ada yang kesannya terlalu aneh buat Anda. Tapi yang jelas semua kisah itu adalah kisah nyata yang diambil dari pengalaman coaching dan terapi yang pernah saya lakukan. Namanya fiktif tapi kasusnya nyata.
Itulah bagian dari mental block. Mental block itu apa sih? Pada dasarnya, mental block berisi pikiran-pikiran negatif yang muncul di pikiran Anda yang memghalangi Anda untuk melakukan sesuatu.
Apakah akibat dari Mental Block ini? Paling tidak adalah 4 Less yang terjadi akibat mental block yakni: worthless (perasaan diri tak berharga), useless (perasaan diri tak berguna), hopeless (perasan bahwa tidak ada harapan) serta effortless (perasaan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan).
Seringkali perasaan ini muncul akibat dari didikan dan bagaimana seseorang dibesarkan. Atau bisa juga melalui pengalaman.
Sebut saja namanya Susan. Ia anak yatim piatu yang dibesarkan tantenya. Hampir setiap hari waktu kecil, Susan selalu dikata-katai, “Kamu tak berguna. Tidak akan becus melakukan apapun. Ayah Ibumu saja meninggal gara-gara kamu“. Dan ternyata kalimat itu sering bergema di batinnya. Ketika ia gagal lakukan sesuatu ataupun ketika ia gagal dipromosikan. Ia selalu berkata,”Aku memang tak berguna“. Padahal Susan punya bakat entepreneur dan seorang yang punya daya persuasi bagus. Ia punya bakat menjual yang sebenarnya bisa diandalkan. Tapi, setiap kali tidak berhasil, ia selalu menyalahkan dan mengatakan dirinya memang “bodoh“. Sampai-sampai ketika suaminya punya simpanan wanita lainpun ia berkata, “Saya memang tidak becus jadi apapun“. Ia pun hanya jadi ibu rumah tangga biasa.
Mental Block Menjadi Mental Boost
Mengubah mental block (penghalang mental) menjadi mental boost (pendorong mental) memang tidak mudah. Sebenarnya, kasus mental block bukan hanya dimiliki orang-orang yang kalah. Yang memang pun banyak yang harus menghadapinya.
Kalau kita baca biografinya Thomas Alva Edison. Dikisahkan bagaimana ia berjuang melawan label “anak bodoh” yang diberikan gurunya. Untungnya ia punya seorang ibu yang sabar dan menguatkan dirinya. Juga kisahnya Mahatma Gandhi. Ia sudah hidup sebagai pengacara yang sukses di Afrika Selatan.Tapi hatinya mengatakan bangsanya sendiri terjajah. Tapi, ia menghadapi mental block. Mental block bangsanya sendiri. Ia sendiri awalnya tidak yakin bahwa ia bisa melakukan banyak hal buat bangsanya. Lagipula di awal-awal perjuangan Gandhi ada banyak kalimat, “Percuma“, “Tidak ada yang bisa lakukan untuk membuat situasi lebih baik“, “Tak mungkin melawan kerajaan Inggris Raya”.
Atau kisahnya Erik Weihenmeyer, seorang buta yang pertama kali menaklukkan puncak Mount Everest pada 10 Mei 2001. Mental blocknya lebih banyak. Ditambah kalimat-kalimat belas kasihan yang pernah ia terima.
Untungnya adalah, baik Thomas Alva Edison, Gandhi maupun Erik Weuhenmayer adalah mereka yang tidak menyerah dengan blok-blok mental yang ada. Mereka menggunakan kalimat-kalimat negatif ini justru jadi penyemangat mereka. Disinilah kita perlu belajar dari mereka.
Pertama-tama, mulailah mengubah kalimat-lalimat yang muncul dari mental blockmu yang salah. Setiap kali muncul kalimat seperti, “Aku akan akan bisa” gantilah dengan kalimat yang lebih positif atau kalau tidak, lebih netral. Misalkan, “Siapa tahu ternyata bisa?”, “Kalaupun nggak bisa. Coba dulu. Paling nggak bisa belajar sesuatu!“. Jadi perhatikanlah kalimat-kalimat negatif yang sering kamu pakai. Stop. Gantilah kalimat-kalimat tersebut.
Kedua. Jangan menyerah, kumpulkan energi dulu. Inilah teknik yang kamu bisa belajar dari para gamer. Iya, dari permainan game-game yang sekarang ini bikin banyak anak milenial kecanduan. Ternyata ada sisi positif yang bisa jadi pembelajaran buat kita. Pembelajaran apa? Pemebalajaran bahwa kalau mereka nggak berhasil melewati satu tahapan, jangan buru-buru berhenti dan menyerah. Mereka lantas berkeliling dan mencoba mengumpulkan sumber daya dan energi, barulah mereka mencoba lagi melewati tantangannya. Dan biasanya justru itulah yang terjadi.
So, awalnya nggak sukses karena keterbatasan sumbee daya. Sehingga perlu latihan, perlu energi lebih banyak. Dan setelah beberapa saat berlatih dan sudah memiliki sumber daya yang memadai, ternyata toh akhirnya bisa. Dan ternyata hidup kita pun seringkali seperti itu.
Ketiga adalah mengumpulkan bukti bahwa Anda salah. Mental block lebih banyak salahnya. Sayangnya, kita seringkali percaya bahwa itu afalah kebenaran. Makanya, hal terbaik adalah membuktikan bahwa itu salah. Misalkan ketika Anda tidak yakin bahwa bisa menjalankan bisnis. Lihatlah kembali bukti-bukti yang menunjukkab bahwa ternyata Anda bisa melewatinya. Problemnya, justru ketika kita punya mental block yang terjadi adalah kita mencari bukti untuk membenarkan bahwa apa yang kita percayai itu adalah benar. Masalahnya, yang terjadi justru kita mencari bukti-bukti yang menunjukkan,”Tuh kan apa yang saya katakan itu benar”
Keempat, lakukan sedikit demi sedikit untuk mengatasi mental block itu. Kadang apa yang kita takutkan itu terlalu besar. Sebuah pertanyaan menarik, “Bagaimana caranya kita memakan seekor gajah yang besar?“. Jawab isengnya adalah, “Dengan cara memakannya sedikit demi sedikit“. Mental block pun kadang begitu. Bagaimana caranya kita bisa mengatasi penghalang yang begitu besar. Caranya sederhana. Dengan memotongnya menjadi kecil-kecil sehingga bisa diatasi. Begitupun cara kita mengatasi mental block kita yang begitu besarnya.
Dan akhirnya, jangan jadikan mental block itu penghalang justru jadi batu loncatan. Bayangkanlah kalau kamu bisa melewati halangan mental ini, bayangkanlah apa yang kamu bisa raih. Makanya, kalimat dari Rendy Pausch penulis buku “The Last Lecture” sungguh menarik. Ia pernah mengatakan, “Halangan itu ada untuk membedakan antara yang sekedar kepingin dengan yang betul-betul pingin“. Jadi, mental block itu muncul kadang sebagai ujian apakah kita cuma sekedar “pingin”, atau “betul-betul pingin”. Dan menariknya, seringkali dibalik tembok itu adalah keberhasilan dan kesuksesan yang menanti kita. Berani mendobrak mental blockmu?
Anthony Dio Martin, CEO HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, trainer, penulis, executive coach, host di radio bisnis SmartFM. Website: www.anthonydiomartim.com
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |