Baru-baru ini, di salah satu topik siaran radio saya, saya meminta pendengar berkomentar soal sebuah kasus. Ada seorang Indonesia dengan latar belakang pendidikan lokal S-2. Saat ini, dia bekerja di perusahaan multinasional dibidang desain yang kebangsaannya berbeda-beda di Singapore. Kalau dengan sesama Asia ia merasa masih bisa pede. Tapi kalau dengan bule, seringkali dirinya minder. Seringkali kalau ada bule, presentasinya jadi kacau. Nah, bagaimanakah agar dia bisa lebih pede?”
Ternyata, saya mendapatkan banyak tanggapan atas kasus ini. Salah satunya mengatakan, “Akrabin para bule itu. Semakin kita akrab, semakin kita tahu bahwa ternyata mereka tidak seperti yang kita kuatirkan sikapnya”. Dan ada pula yang menganjurkan, “Jangan minder! Justru lawanlah keyakinan itu.Perdalam bidangmu dan jadilah yang terbaik. Justru, gunakan rasa kuatir itu untuk buktikan bahwa dirimu bisa lebih baik dari apa yang mereka mungkin pikirkan”.
Begitulah, kasus ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Bahkan di berbagai belahan di Asia ternyata mengalami kasus serupa.
Namun, dalam kesempatan ini, saya bukan hanya bicara soal rasa mender terhadap bule. Tetapi juga perasa minder lainnya secara umum. Dan dalam istilah psikologinya, biasanya awalnya hanya berupa perasaan minder yang sifatnya situasional saja (terhadap orang yang dirasa lebih hebat, yang lebih cantik dan langsing, yang lebih borju, dll). Akan tetapi, jika rasa minder ini menetap dan terus menerus terjadi serta mengganggu, iapun menjdi suatu inferiority complex. Parahnya, ia pun masuk menetap di alam bawah sadar kita. Mempengaruhi segala pola sikap dan perilaku kita.
Dari hasil pertanyaan saya kepada para pendengar radio dan pembaca buku saya, tenyata kebanyakan penyebab rasa minder orang –orang kita umumnya adalah berikut. Pertama, yang paling umum adalah soal penampilan. Inilah yang paling lumrah. Misalkan ia merasa dirinya kurang cakep, merasa terlalu gendut, merasa kekurusan, dll.
Berikutnya, adalah soal kemampuan (skills). Disini, seseorang merasa dirinya nggak bisa, merasa orang lain lebih pintar dari dirinya, misalkan lebih pintar ngomong, dll. Lalu bisa juga terkait soal keuangan. Misalkan, ia merasa dirinya lebih kere, lebih miskin. Ada juga minder dari sisi pendidikan. Dimana seseorang merasa dirinya kurang dalam hal pendidikannya, merasa lebih bodoh dari yang lain. Dan yang terakhir, adalah faktor kolektif. Inilah rasa minder yang juga dialami oleh orang lain yang berada satu kelompok. Hal ini banyak terkait dengan soal labeling. Misalkan tadi, orang Asia yang merasa dirinya lebih minder dari orang bule, mungkin karena trauma ataupun pernah merasa dijajah.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah yang menyebabkan orang menjadi minder, khususnya dalam konteks pekerjaan? Ada beberapa alasannya sih.
Alasan pertama, sikap minder ternyata terkait erat dengan pola asuh orang tua yang penuh celaan, larangan dan kritikan. Bayangkanlah seorang anak yang dididik dengan “Jangan ini, jangan itu. Nggak boleh itu. Nggak boleh ini”. Apa jadinya ketika anaknya setelah besar? Lama-lama anak jadi belajar nggak pede, dan melihat dirinya selalu penuh kekurangan.
Bicara soal ini, saya pun jadi teringat kisah motivator dan pelopor Psychocybernetics, Dr.Maxwell Maltz. Ia bercerita tentang seorang eksekutif yang meminta anaknya dikonseling. Kisahnya si anak tunggal atu-satunya in, tidak mau melanjutkan bisnis bapaknya, meskipun sudah diiming-imingi dengan hadiah uang banyak. Usut punya usut, ternyata hal itu terkait dengan pengalaman masa lalu dimana sang ayah selalu bermain lemparan 10 bola dengan si anak. Dan biasanya, antara lemparan pertama sampai kesembilan, si anak akan bisa menangkapnya. Tetapi, kalau sidah masuk lemparan kesepuluh maka si ayah akan melakukan cara apapun untuk membuatnya gagal, lantas si ayah berkata “uh kan jangan sombong dulu. Kemampuan kamu belumlah sempurna”. Tapi apa yang dmaksudkan memotivasi oleh sang ayah, ternyata tidak dirasakan demikian oleh si anak. Dan waktupun berjalan. Hingga anak ini dewasa, ternyata si anak semata wayang ini menolak untuk melajutkan bisnis ayahnya. Dan alasan utamanya adalah, “Percuma. Setiap kalil emparan ayah tak pernah memujiku. Buat apa menjalankan bisnisnya? Paling ya aku akan ters-menerus tidak dianggap mampu”. Ternyata pengalaman itu membekas menjadi pengalaman traumatis dalam hidupnya si anak itu.
Bisa juga, alasannya karena transfer pengalaman dan pikiran dari orang lain. Misalkan yang berasal dari orang tua, ataupun lingkungan yang minder. Yang satu ini, hasil pembelajaran. Bisa jadi bukan pengalamannya sendiri, tapi pengalaman orang lain yang dia adopsi. Misalkan ayahnya dulu pernah pacarin anak orang kaya, tapi diusir. Akibatnya, dia jadi ajarin anaknya bahwa orang kaya itu suka menghina!
Atau bisa jadi, pengalaman buruk dengan seseorang atau pribadi tertentu. Jadi pernah dihina, nggak dianggap, ataupun dilecehkan. Nah, tiap kali bertemu dengan orang yang profilnya mirip, jadi kumatlah mindernya!
Ataupun brasal dari self talk negatif yang dipelajari dari lingkungan. Lingkung ini bisa lingkungan keluarga, guru, pergaulan atau bahkan karena hasil tontonan media,. Misalkan iklan cewek gendut yang dijauhi, akhirnya dirinya pun jadi minder!
Pertanyaannya sekarang: adakah obat minder itu? Ada dong! Utama dan yang paling mudah adalah adalah stop self talk negatifmu! Terutama saat melakukan kesalahan, stop salahkan diri. Daripada mengkritik diri, pikirkan apa yang bisa diperbaiki di kemudian hari.
Obat berikutnya adalah stop mendiskon kemampuan Anda dan terlalu melebihkan diri orang lain. Pikirkanlah secara realistis. Justru kebalikannya, pikirkanlah apa kelebihanmu. Okelah untuk satu hal orang lain itu memang bagus di bidang tertentu, tapi ingatlah pasti ada sesuatu pula yang kamu ketahui, yang tidak dikuasai oleh orang itu. Fokuskanlah pada hal yang kamu bisa lebih hebat dari dia.
Tips berikutnya, justru yang semakin kamu merasa minder, harusnya makin kamu akrabi. Seperti salah satu saran di atas. Misalkan kalau minder dengan bule, justru usahakan lebih banyak mencoba bergaul dan menyelami kehidupan mereka. Jadinya kita tahu, oh ternyata apa yang kita minderkan nggak benar.
Akhirnya, ingatlah selalu bahwa minder itu imajinatif. Hanya ada dalam gambaran mentalmu yang akhrinya membuatmu makin kecil. Kamu sering mengerdilkan kemampuan diri . Dan itulah yang sering diimajinasikan. Maka, lawanlah dengan yang sebaliknya. Ingat kembali kisah suksesmu. Film itulah yang semestinya diputar di kepalamu. Bukannya dengan memutar-mutar terus pengalaman salah dan gagalmu.
Kalau perlu, tatkala minder menghantuimu, justru lakukan hal yang ditakutkan untuk membiasakannya. Misalkan saya teringat dulunya, saya mengalami minder luar biasa kalau bicara di depan orang banyak. Malahan, saya mengambil langkah sebalinya, saya mencoba angkat tangan, ambil kesempatan untuk bicara di setiap kali ada kesempatan menyampaikan sesuatu. Ambil kesempatan ngomong di meeting atupun seminar. Lama kelamaan, dengan berjalannya waktu, saya pun akran dengan dunia menyampaikan pendapat…malah ketagihan ngomong!
Tulisan ini ingin saya akhiri dengan kalimat sederhana, “Banyak otak yang superior, tetapi terbelenggu oleh pikian yang inferior!” Jangan biarkan otakmu yang superior, terbelenggu oleh pikiranmu yang terus-terusan merasa dirimu inferior!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |