
Tahun 1987, Howard Schultz ingin membeli Starbucks. Bukan karena ia sekadar melihat peluang bisnis, tapi karena ia membawa mimpi. Ia ingin membangun tempat yang bukan hanya menjual kopi, tapi juga menyajikan kehangatan, relasi, dan kualitas. Persis seperti kafe-kafe di Italia yang pernah ia kunjungi.
Namun saat itu, pemilik Starbucks, Jerry Baldwin dan Zev Siegl, tidak ingin menjual. Schultz bukan pesaing, ia pernah bekerja bersama mereka. Pernah jadi bagian dari keluarga besar Starbucks. Tapi tetap saja, mereka ragu. Maka Schultz tak menggunakan pendekatan keras atau adu harga. Ia mengetuk pintu hati.
Ia berkata, “Saya pernah bergabung sejak 1982 sebagai direktur pemasaran. Saya tahu ini bukan sekadar bisnis. Tapi mimpi. Izinkan saya menjaga nama Starbucks. Izinkan saya membangun sesuatu yang akan Anda banggakan.” Ia menutup pembicaraan dengan kalimat yang tak bisa dibantah: “Ini bukan soal uang, ini soal legacy.”
Hasilnya? Starbucks dijual kepadanya seharga 3,8 juta dollar. Hari ini, nilainya sudah menembus 105 miliar dollar AS. Bukan hanya karena visi besar. Tapi karena EQ yang besar. Ia tahu kapan berbicara dengan angka, dan kapan berbicara dengan hati.
Bandingkan dengan kisah sebaliknya. Tahun 2008, Microsoft berniat membeli Yahoo dengan harga 44,6 miliar dollar AS. Yahoo saat itu sedang kesulitan bersaing dengan Google. Tapi CEO Yahoo, Jerry Yang, menolak tawaran tersebut. Merasa dihargai terlalu rendah. Microsoft menaikkan tawaran. Masih ditolak. Dalam waktu singkat, saham Yahoo turun tajam. Tahun 2016, Yahoo akhirnya dijual ke Verizon hanya dengan harga 4,48 miliar dollar AS. Kurang dari 10% dari yang ditawarkan Microsoft. Keputusan yang lahir bukan dari perhitungan jernih, melainkan dari gengsi dan ego.
Dari dua kisah ini, terlihat satu pesan penting. Dalam negosiasi, kecerdasan emosional (EQ) bisa menjadi pembeda antara kegagalan dan kesuksesan besar.
Kedua, EQ membuat seseorang berpikir lebih jernih dan melihat situasi dari berbagai sudut pandang. Seorang agen properti misalnya, saat ditawar habis-habisan oleh calon pembeli, bisa saja tersinggung. Tapi jika ia menahan emosi dan bertanya dalam hati, “Apakah ia takut ambil risiko? Atau kesulitan finansial?” Maka perspektifnya akan berubah. Dan benar saja, alasan klien adalah ketakutan. Setelah diberikan jaminan dan kepastian, transaksi pun terjadi.
Ketiga, EQ membuat proses negosiasi fokus pada inti persoalan, bukan pada pertengkaran. Kisah dua keledai yang terikat dan sama-sama ingin makan di arah berlawanan menjadi ilustrasi menarik. Mereka terus menarik tali, saling ngotot. Sampai akhirnya menyadari, lebih baik makan ke kiri dulu bersama-sama, lalu lanjut ke kanan. Selesai. Jika manusia saja mampu meniru strategi keledai cerdas ini, berapa banyak konflik bisa dihindari?
Keempat, EQ menciptakan ruang yang aman dan penuh kepercayaan. Dalam negosiasi, rasa percaya lebih penting dari sekadar harga. Orang lebih senang membeli dari yang menyenangkan. Bukan dari yang jutek dan mudah marah. Seperti dalam film Pretty Woman, ketika karakter utama ditolak berbelanja karena penampilannya, ia pergi dan memborong dari toko lain. Bahkan dengan harga lebih mahal. Mengapa? Karena perlakuan menentukan keputusan.
Dan yang kelima, EQ memungkinkan seseorang menang tanpa menjatuhkan. Lihatlah Messi saat Argentina menang melawan Perancis di final Piala Dunia 2022. Alih-alih menyombongkan diri, ia justru berkata, “Mbappé adalah masa depan sepak bola. Dia luar biasa.” Sebuah kemenangan yang membawa rasa hormat, bukan rasa sakit.
Jadi. EQ bukan tentang menjadi lemah. Tapi tentang tahu kapan harus menekan, kapan harus merangkul. EQ adalah kemampuan untuk membaca emosi lawan, menata emosi diri, dan membangun jembatan di atas perbedaan.
Dalam negosiasi, EQ bukan sekadar pelengkap. Ia adalah senjata utama yang bekerja dalam diam. Tidak terlihat, tapi menentukan arah dan hasil akhir.
Karena dalam dunia bisnis, yang dihargai bukan hanya kecerdasan… tapi juga kebesaran hati.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |