
“Jika kita bisa memimpin dengan perasaan dan pikiran yang seimbang, maka kita bisa menciptakan tim yang tidak hanya bekerja, tetapi juga bertumbuh bersama.”
Namanya Pak Ronny. Seorang manajer operasional yang sangat dihormati karena kemampuannya menyusun laporan dengan presisi dan kecepatannya menyelesaikan pekerjaan teknis. Namun, di balik keunggulan teknis itu, ia punya satu kekurangan besar yang tak ia sadari. Ia tumpul dalam membaca rasa. Timnya bekerja dalam tekanan, tanpa pelukan kepedulian. Ia jarang tersenyum, apalagi menyapa dengan empati.
Suatu hari, seorang staf andalannya, Liana, yang dikenal telaten dan kreatif, tampak mulai sering datang terlambat dan terlihat kosong matanya saat rapat. Pak Ronny tak menggubris. Baginya, itu urusan pribadi. Ketika Liana akhirnya benar-benar mengundurkan diri, ia hanya berkata datar, “Ya sudah, kita cari penggantinya.”
Namun, tak semudah itu mengganti semangat. Tim yang ditinggalkan Liana ikut goyah. Iklim kerja menjadi dingin dan penuh bisik-bisik. Performa turun. Dan Pak Ronny baru menyadari bahwa yang hilang bukan hanya satu orang, tetapi satu lapis kepercayaan dalam tim.
Cerita Pak Ronny ini mungkin terasa akrab di banyak organisasi. Sayangnya, banyak pemimpin hebat dalam hal strategi tapi gagal dalam urusan emosi. Di sinilah pentingnya buku berjudul The Emotionally Intelligent Manager karya David R. Caruso dan Peter Salovey. Buku ini menawarkan empat pilar kecerdasan emosional yang seharusnya menjadi fondasi setiap pemimpin: mengenali emosi, menggunakan emosi untuk berpikir, memahami emosi, dan mengelola emosi secara produktif.
Mari kita lihat kisah nyata yang menguatkan hal ini. Howard Schultz, pendiri Starbucks, bukan sekadar pengusaha yang tahu soal kopi. Ia juga pemimpin yang peka terhadap rasa manusia. Di awal masa kejayaan Starbucks, Howard pernah mengalami masa sulit ketika ekspansi yang terlalu agresif mulai menggerus budaya asli perusahaannya. Banyak staf merasa hubungan manusiawi diabaikan demi pertumbuhan angka. Schultz mundur sebagai CEO saat itu, namun kembali beberapa tahun kemudian untuk membenahi arah.
Apa yang ia lakukan pertama kali? Ia mengunjungi toko-toko, bertemu langsung dengan barista, mendengar curahan hati mereka, dan membawa kembali semangat pelayanan yang otentik. Ia percaya bahwa bisnis adalah tentang hati, bukan hanya angka. Ia pernah berkata, “Orang tidak datang ke Starbucks hanya untuk kopi. Mereka datang untuk pengalaman, dan itu dimulai dari manusia yang saling memahami.”
Berbeda dengan Pak Ronny yang gagal membaca gejala emosional, Schultz memperlihatkan kekuatan nyata dari keterampilan pertama yang disebut Identify Emotion. Ia menyadari bahwa emosi adalah data penting. Melalui ekspresi, nada suara, dan suasana hati, kita bisa mengenali apakah seseorang sedang berjuang atau sedang bersinar. Emosi memberi sinyal, dan pemimpin yang peka bisa menangkap sinyal itu lebih awal.
Kemampuan berikutnya adalah Use Emotion. Emosi sebenarnya bisa diarahkan. Mereka bisa mengarahkan fokus, memperkuat komitmen, bahkan memicu kreativitas. Liana sebenarnya punya ide besar untuk mengubah alur kerja di divisinya, tapi karena Pak Ronny selalu bersikap datar dan skeptis, ide itu tak pernah keluar. Di sinilah emosi yang seharusnya bisa menyuburkan inovasi, justru mengering dalam diam.
Komponen ketiga adalah Understand Emotion. Emosi punya struktur. Mereka muncul karena sebab. Marah tidak selalu berarti benci. Kadang, ia muncul dari perasaan tidak dihargai. Sedih tidak selalu berarti lemah. Bisa jadi karena seseorang kehilangan makna dalam pekerjaan. Ketika seorang pemimpin mampu memahami emosi sampai ke akar, maka ia tidak akan cepat menyimpulkan, apalagi menghakimi.
Dan terakhir, Manage Emotion. Ini adalah puncak dari kecerdasan emosi. Pemimpin yang bisa mengatur emosi, bukan berarti menekannya. Justru ia mampu memilih emosi yang tepat di saat yang tepat. Ia bisa tetap tenang di saat panik, bisa membakar semangat tim saat semuanya mulai layu, dan bisa mencairkan suasana saat semua terasa tegang.
Empat komponen ini bukan konsep teoritis belaka. Ia adalah keterampilan nyata yang bisa dipraktikkan setiap hari. Tanpa keempatnya, seorang pemimpin bisa jadi seperti mobil sport dengan mesin canggih, tapi tidak punya kemudi. Cepat, tapi tak terkendali. Itulah yang terjadi pada banyak organisasi yang dikelola oleh pemimpin pintar tapi tak peka.
Howard Schultz membuktikan bahwa keberhasilan bisnis dimulai dari keberanian untuk menyentuh rasa. Sementara itu, kisah Pak Ronny menjadi cermin bahwa kehebatan teknis tanpa kepekaan emosional hanyalah setengah dari kepemimpinan.
Karena dalam dunia kerja yang semakin kompleks ini, manusia bukan hanya butuh perintah. Mereka butuh pengakuan. Bukan hanya butuh arahan, tetapi juga perhatian. Dan bukan hanya ingin didengar sebagai staf, tetapi juga sebagai manusia yang utuh.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
anthonydiomartin@hrexcellency.com | ||
Website | : | www.anthonydiomartin.com |